Cerpen bertema sosial
Ibu,
maafkan aku!
Siang ini langit telah
mendung, matahari tak lagi menampakkan sinarnya. Suasana tersebut telah
menyentuh hati Lusi yang saat itu sedang sedih. Hatinya menangis, ia sangat
merindukan kasih sayang dari orang tuanya tapi dia sama sekali tidak tahu
tentang orang tua kandungnya, ia hanya tinggal bersama orang tua angkatnya yang
sangat menyayanginya. Dan yang memprihatinkan lagi adalah dia selalu diejek
teman-temannya karena memiliki ibu yang miskin, tua, hitam, jelek, dan bungkuk.
Bahkan pernah hampir satu minggu Lusi tidak berangkat sekolah karena malu dan
merasa dikucilkan oleh teman-temannya.
“ Lusi, kenapa kamu menangis nak ? “ tanya ibu
angkatnya.
“ tidak apa-apa bu,”
“ Lusi, ayolah cerita sama ibu, kamu kenapa nak ?
apa teman-temanmu masih selalu mengejekmu ? apa perlu ibu memindahkan kamu ke
sekolah lain ?”
“ nggak perlu bu, mau berapa kalipun Lusi pindah
sekolah tetap saja Lusi akan dihina teman-teman Lusi bu, karena Lusi punya orang tua kayak ibu.
Coba saja kalau Lusi tinggal bersama orang tua kandung Lusi pasti Lusi nggak
akan semenderita ini. “
“ maafkan ibu nak, ibu tahu ibu bukan orang tua yang
baik untuk kamu, tapi ibu sangat sayang sama kamu nak, ibu nggak mau melihatmu
sedih begini nak,”
“ kalau ibu nggak mau melihat Lusi sedih, tolong
bantu Lusi cari tahu siapa orang tua kandung Lusi bu.”
“ suatu saat kamu akan tahu siapa orang tua
kandungmu nak, “
“iya, tapi sampai kapan bu, Lusi sudah nggak tahan
dengan keadaan ini. Udah bu, lebih baik ibu pergi dari kamar Lusi, Lusi mau
sendiri bu.”
Hari
sudah mulai gelap, tetapi Lusi tetap saja melamun sambil menangis. Dia harus
bertanya-tanya dalam hati. Siapa, bagaimana dan dimana sekarang orangtuanya
berada. Malam pun semakin larut, Lusi merebahkan badannya di tempat tidur,
matanya seolah-olah tidak bisa terpejam akibat masalah yang dipikirkan.
Hari
sudah mulai pagi, pagi yang sangat cerah, kicauan burung pun bersahut-sahutan.
Namun Lusi tetap saja gelisah. “ Tuhan, apa yang harus hamba lakukan, hamba
ingin seali bertemu dengan orang tua kandung hamba “ pintanya dalam hati.
“ Lusi... bangun nak, ibu sudah masak untuk
sarapanmu“ panggil ibunya sambil mengetuk pintu kamar Lusi.
“ iya bu, bentar lagi Lusi juga bangun.”
Lusi
keluar kamar dan langsung pergi tanpa sarapan terlebih dahulu.
“ Lusi, kamu nggak sarapan dulu nak, ibu sudah masak
makanan kesukaanmu “
“ Nggak perlu bu, Lusi mau langsung pergi”
Lusi
sebenarnya gadis baik, tapi ejekan teman-temannya yang telah membuatnya agak
kecewa karena telah dirawat oleh ibu yang bungkuk dan jelek.
***
Hari-hari
telah berlalu, kini ibu angkat Lusi jatuh sakit. Dia hanya bisa berbaring di
atas tempat tidur karena sakit yang dideritanya sangat parah. Dari kamar dia
melihat Lusi keluar dengan membawa barang-barangnya.
“ Lusi..Lusi..” teriaknya sambil mencoba berusaha
untuk bangun dan mengejar Lusi.
“ Lusi, tunggu dulu nak, kamu mau kemana?”
“apa lagi bu? Lusi mau pergi dari rumah ini, Lusi
mau cari orang tua kandung Lusi, lagipula saat ini ibu sudah tidak bisa bekerja
lagi. Lusi mau makan apa kalau terus-terusan tinggal di rumah ini”
“ Lusi dengarkan ibu dulu nak “ sambil memegang
tangan Lusi.
“minggir bu, nggak usah pegang-pegang tangan Lusi”
Lusi mendorong ibunya hingga kepalanya terbentur ke
lantai. Tanpa sengaja Lusi telah melukai ibunya, ia mendorong ibunya karena
emosi.
“ ibu..” (Lusi merasa bersalah)
“ ibu nggak papa bu? Kepala ibu berdarah.”
“ Lusi, ibu sudah nggak kuat lagi nak. Ibu hanya mau
bilang bahwa orang tua kandungmu adalah ibu. Ibu terpaksa berbohong karena ibu
nggak mau kamu kecewa dan malu mempunyai ibu yang jelek dan bungkuk seperti
ini.”
“ nggak, ibu pasti bohong. Orang tua kandung Lusi
bukan ibu.”
“ ibu nggak bohong nak, punggung ibu yang bungkuk
ini karena dulu ketika kamu masih bayi ibu berusaha melindungimu dari perampok
nak, perampok itu memukuli ibu hingga punggung ibu bungkuk, dan bekas luka di
muka ibu ini karena terkena pisau para perampok tersebut.”
“nggak..nggak mungkin, ini semua nggak mungkin” Lusi
terkejut dengan pernyataan ibunya.
“ sekali lagi ma.. af.. kan i.. bu nak! (sambil menghembuskan nafas
terakhir)
“ ibu ibu ibu, bangun bu...maafkan Lusi bu....”
“Ibu.....Lusi mohon bangun bu, jangan tinggalkan
Lusi bu, Lusi sayang ibu”
“ibu........” (sambil menangis)
Langit
yang kini mendung telah menyentuh hati Lusi lagi, tapi kali ini Lusi bersedih
bukan karena rindu dengan orang tua kandungnya, tapi ia sedih karena telah
kehilangan ibu yang sangat menyayangi dan mencintainya dengan tulus.
Akhir
Cerita Cinta Mery
Sore itu Nugroho dan
Sus duduk di ruang tengah. Nugroho duduk santai sambil membaca koran sedangkan
Sus membuat kopi untuk Nugroho.
Dari luar tedengar
suara mobil Mery. Tak lama kemudian Mery masuk rumah. “ selamat sore mah..
pah..?
“ sore nduk..”
“ mah, pah, boleh nggak kalau liburan kali ini Mery
berlibur ke rumah nenek yang ada di desa ?”
“ ya tentu saja boleh dong nak, iya kan pah? Tapi,
ngomong-ngomong tumben kamu mau berlibur di desa. Memangnya kamu nggak ikut
liburan sama teman-temanmu?”
“ Mery udah bosen mah, Mery pengen cari suasana baru
di desa. Di desa kan udaranya sejuk, asri, dan yang paling penting tidak bising
dengan suara-suara kendaraan seperti di kota, sehingga cocok untuk dijadikan
tempat berlibur menghilangkan sress dengan tugas-tugas kuliah.”
“ ya wis terserah kamu lah nduk, kalau gitu besok
mamah sama papah antar kamu ke sana ya, sekalian mamah mau jenguk nenekmu. Udah
lama mamah nggak datang ke sana.”
“ oke mah, ya udah Mery ke kamar dulu ya mah”
Hari
sudah mulai pagi, matahari bersinar cerah, secerah hati Mery yang saat ini
sedang bahagia karena hari ini dia akan berlibur ke rumah neneknya.
“Mer, kamu udah siap belum ? papah udah nunggu di
depan.”
“iya mah, Mery bentar lagi selesai kok”
Mery
keluar dengan membawa barang-barang yang ia butuhkan.
“ udah siap Mer ?”
“ iya udah mah, ayo kita berangkat sekarang”
Kurang
lebih sekitar tiga jam perjalanan mereka menuju ke rumah nenek. Setelah sampai
di rumah nenek, mereka bercakap-cakap sebentar membicarakan mengenai masa lalu
Mery ketika masih kecil yang masih lucu dan imut, serta cengeng.
Tak terasa hari mulai
sore, Nugroho dan Sus pamit untuk pulang.
“lho kok pulang sekarang nduk, kamu ndak mau nginep
di sini dulu ?
“nggak bu, mas Nugroho kan besok harus kerja, lain
kali saja nggih bu. Sus nitip Mery saja ya bu”
“ Nugroho juga pamit ya bu” sambil bersalaman dan
mencium tangan mertuanya.
“ya wis kalau begitu kalian seng ati-ati ya, jangan
ngebut-ngebut”
“injih bu, kami pamit dulu bu”
***
Hari-hari
telah berlalu. Mery hidup bahagia bersama neneknya. Selama ia tinggal di rumah
neneknya, ia bertemu dengan seorang lelaki yang bernama Marijan. Marijan adalah
pemuda desa yang rajin, ulet, dan tentunya sangat menyayangi Mery. Itu yang
membuat Mery tergila-gila padanya.
“assalamu’alaikum
nek, Merynya ada?”
“wa’alaikum salam, oh kamu tho le, iya Mery ada di
dalam. Ayo silahkan masuk le “
“mas Marijan!, sini mas masuk dulu biar Mery buatin
minuman”
Hampir
setiap hari Marijan datang ke rumah neneknya Mery untuk menemui Mery. Baru kali
ini Mery menemukan lelaki yang sangat menyayangi dan mencintainya dengan tulus.
Semakin hari hubungan mereka semakin serius.
“mas, kamu serius kan sama aku?”
“ya tentu saja serius tho Mer, kamu adalah
satu-satunya perempuan yang sangat mas sayangi”
“iya mas, Mery juga sangat menyayangi mas Marijan”
Suatu
hari, Nugroho dan Sus datang ke rumah nenek untuk menjenguk dan mengetahui
keadaaan Mery. Tapi betapa terkejutnya Nugroho dan Sus setelah mendengar cerita
nenek bahwa Mery berhubungan dengan Marijan.
Nugroho
tidak setuju jika Mery berhubungan dengan pemuda desa dan miskin karena
keluarga mereka merupakan keturunan ningrat. Mereka tidak mau Mery berhubungan
lebih jauh lagi dengan Marijan, sehingga mereka memaksa Mery untuk pulang dan
meninggalkan Marijan. Awalnya Mery sempat menolak untuk berpisah dengan Marijan,
tapi akhirnya ia mengikuti perintah orang tuanya.
Sejak
berpisah dengan Marijan Mery lebih sering murung dan berdiam diri di kamar.
Nggak hanya itu, Mery juga nggak mau makan sehingga akhirnya ia menjadi
sakit-sakitan. Sus tidak tega melihat keadaan anaknya, hingga akhirnya ia
membujuk Nugroho untuk merestui hubungan Mery dan Marijan.
“pah, Mery adalah anak kita satu-satunya, memangnya
papah mau kalau terjadi apa-apa sama Mery ? mamah nggak tega melihat keadaan
Mery pah.”
“mah, udah ya, sampai kapanpun papah nggak mau
menerima pemuda desa itu. Mau ditaruh mana muka papah kalau punya menantu
miskin kayak Marijan mah.”
“oh, jadi papah lebih memilih harga diri papah
daripada anak kandung papah sendiri?”
“ bukan gitu mah,,”
“udahlah pah, mamah kecewa sama papah.?
“ oke.. oke..besok papah akan mengundang Marijan ke
sisni.”
Pagi-pagi
sekali Marijan datang ke rumah Mery. Wajah Mery yang semula murung sekarang
kembali bersinar setelah bertemu dengan Marijan.
“mas, Mery kangen sekali dengan mas.”
“iya Mer, mas juga. Tapi ada sesuatu yang ingin mas
omongin.”
“ada apa mas?”
“maafkan mas Mer, mas sudah nggak bisa lagi melanjutkan
hubungan ini Mer.”
“tapi kenapa mas? Mery salah apa? Apa ini karena
orang tua Mery yang menyuruh mas ninggalin Mery ?”
“nggak Mer, ini nggak ada hubungannya dengan orang
tuamu Mer.”
“ini semua karena mas sudah dijodohin dengan wanita
pilihan ibu Mer.”
“nggak mungkin mas, jadi mas Marijan lebih memili
wanita itu daripada Mery?”
“maafkan mas Mer.”
Sejak
saat itu Mery menjadi benci dengan Marijan. Ia tak menyangka bahwa lelaki yang
sangat ia sayangi telah mengecewakannya, dan sejak saat itu ia sudah tidak
percaya dengan yang namanya lelaki.
Tapi
semuanya berubah setelah ia mendapatkan surat yang katanya dari Marijan.
Dear
Mery,
Mungkin
ketika kamu membaca surat ini aku sudah tidak ada. Tapi dari tempatku berada
aku yakin aku bisa melihat engkau tersenyum walaupun aku tak bisa menyentuhmu
lagi. Penyakit itu begitu cepat menggerogoti tubuhku Mer. Aku nggak mau kamu
tahu tentang keadaanku. Aku nggak mau melihatmu sedih. Dengan aku bilang bahwa
aku akn menikah dengan perempuan lain kamu akan marah. Tapi lebih baik
melihatmu marah daripada melihatmu sedih. Aku ingin pergi dengan tenang tanpa
melihat airmatamu.
Maafkan
aku karena aku meninggalkanmu Mer. Tapi sebenarnya aku tak pernah benar-benar
melakukannya. Aku pergi bukan untuk meninggalkanmu tapi justru menjadi abadi
bersamamu.
Tetaplah
tersenyum Mer!!!
Marijan,
Seketika
itu juga Mery meneteskan airmata setelah membaca surat dari Marijn tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar