Apresiasi
Prosa
Analisis
Novel “ Kubah “
Karya,
Ahmad Tohari
Dosen Pengampu:
Wati Istanti
Nama :
Sumiyati
Rombel : 04
Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas
Bahasa dan Seni
Universitas
Negeri Semarang
2014
Sinopsis
Novel “ Kubah “
Novel Kubah menceritakan tentang seorang tokoh yang
bernama Karman yang ditahan di pulau Buru karena terjerumus ke jalan yang salah
ketika menjadi aktivis politik.
Setelah dua belas tahun hidup di pulau buangan,
akhirnya Karman dibebaskan. Pada hari pertama dinyatakan menjadi orang bebas,
Karman malah merasa bingung mau pulang kemana. Ia merasa ragu untuk pulang ke
kampung halamannya, Pegaten. Ia takut jika nanti orang-orang kampung tidak mau
menerimanya. Dari depan gedung Kodim, Karman berjalan hingga akhirnya dia
menemukan sebuah tempat yang enak untuk beristirahat, Karman duduk di bawah
pohon beringin. Di bawah pohon beringin tersebut Karman mulai melamun, yang
menguasai seluruh lamunan Karman adalah Parta, seorang teman sekampung. Tujuh
tahun yang lalu, ketika Karman masih menjadi penghuni pulau buangan, Parta
mengawini Marni. Marni adalah istri Karman, walaupun sudah memiliki tiga orang
anak, Marni memang masih kelihatan cantik. Setelah mendengar kabar bahwa
istrinya akan menikah dengan Parta, Karman hanya bisa diam, merenung dan
merenung. Setiap hari jiwa dan raga Karman bertambah rapuh hingga akhirnya
Karman jatuh sakit.
Angin yang menembus sela-sela kerimbunan pohon
beringin menimbulkan sebutir buah beringin runtuh dan menimpa pundak Karman.
Karman yang sedang larut dalam kenangan ketika terbuang di pulau Buru,
tersadar, kemudian melangkahkan kakinya
berjalan ke rumah Gono, saudara sepupunya. Di rumah Gono Karman bertemu dengan
anaknya, Rudio. Sejak ibunya menikah dengan Parta, Rudio tinggal bersama pamannya. Adiknya, Tini,
tinggal bersama ibunya. Sedangkan Tono meninggal dunia.
Tini hampir tujuh belas tahun, dan saat ini Tini
berhubungan dengan Jabir. Jabir adalah cucu dari Haji Bakir.
Sewaktu masih kecil, sepeniggal ayahnya, Karman
hidup hanya hidup dengan ibu dan seorang adik perempuan. Keadaan keluarga
Karman sangat menyedihkan, ia sering kelaparan. Hingga dua tahun lamanya Karman
hidupdengan singkong. Hanya sesekali ia menemukan nasi, itupun bila dia punya
kesempatan main dengan Rifah, anak bungsu Haji Bakir. Hari-hari selanjutnya
Karman mendapatkan perhatian yang cukup dari keluarga Haji Bakir. Selalu ada
pekerjaan kecil-kecilan yang bisa dikerjakan. Karman juga sering bermain dengan
Rifah. Maka wajar bila Rifah adalah nama pertama yang terbaca di hati Karman
ketika ia merasa sudah menjadi lelaki dewasa. Sayangnya ada satu hal yang
membuat Karman kecewa, Rifah sudah dilamar oleh pemuda lain. Calon suami Rifah
sudah ditentukan oleh keluarga Haji Bakir. Sejak saat itulah Karman menjadi
benci degan keluarga Haji Bakir dan akhirnya pada saat terjadi pemberontakan
pada bulan September 1948 dia bergabung menjadi anggota partai dan menjadi
aktivis poitik. Hingga akhirnya Karman menikah dengan Marni. Sedang kan Rifah
menjadi janda karena suaminya meninggal dunia. Rifah dikaruniai seorang anak
yang bernama Jabir, pemuda yang saat ini berhubungan dengan Tini.
Tini dan Jabir keluar dari rumah Bu Mantri. Merek
baru menjemput Karman dari kota. Ayah Tini yang baru pulan dari pulau Buru itu
sekarang berada di rumah Bu Mantri, nenek Tini.
Di rumah orangtuanya Karman sedang dirubung oleh
para tamu, tetanga-tetangga yang sudah amat lama ditinggalkan. Ia merasa heran
dan terharu, ternyata orng-orang Pegaten tetap baik padanya. Apabila Karman
menyambut tamu-tamu yang lain secara wajar, tidak demikian halnya ketika ia
menerima kedatangan Haji Bakir. Begitu Haji Bakir masuk ke rumah Bu Mantri,
Karman berlari menjemputnya, lalu menjatuhkan diri dan meminta maaf kepada Haji
Bakir atas perbuatannya yang dulu.
Setelah beberapa bulan Karman telah berbaur kembali
dengan kehidupan di Pegaten.ada sebuah berita yang makin lama makin santer
diterima Karman. Tini, anaknya akan dilamar oleh Jabir. Keluarga Tini diminta
oleh Haji Bakir berkumpul di rumah Bu Mantri. Haji Bakir melangsungkan lamaran
di rumah Bu Mantri, dan akhirnya Jabir dan Tinipun menikah.
Kini Karman sudah menjadi besan Haji Bakir, Karman
sungguh tidak lagi bisa melihat sesuatu pada Haji Bakir yang membuatnya pantas
dibenci.
Masjid Haji Bakir makin tua seperti usia pemiliknya.
Temboknya rapuh dan tampak retak-retak disana sini. Para jamaah sepakat hendak
memugar masjid itu. Karman menyanggupi membuat kubah yang baru untuk masjid
itu. Ketika kubah itu sudah jadi, banyak warga yang memuji kebagusan kubah
masjid yang dibuat oleh Karman. Karman merasa senang akhirnya dia bisa membalas
kebaikan Haji Bakir yang dulu pernah membantunya.
Analisis Unsur Pembangun Karya Sastra
Unsur
Intrinsik:
a. Fakta
Cerita
1. Alur
Alur yang digunakan dalam novel
Kubah adalah alur campuran. Hal ini disebabkan karena adanya alur maju, alur
mundur, kemudian kembali ke alur maju lagi. Bukti dari adanya alur campuran
adalah:
a.
Alur maju
Ketika Karman keluar dari tahanan dan ia bingung mau
pulang kemana.
“ Dia tampak amat canggung dan gamang. Gerak-geriknya serbakikuk sehingga
mengundang rasa kasihan. Kepada Komandan Karman membungkuk berlebihan...” (
Kubah: 5)
b.
Alur mundur
Ketika menceritakan kisah Karman dari sejak kecil
hingga dewasa dan akhirnya ditahan di pulau buangan karena terjerumus dalam
dunia politik.
“ sepeninggalan ayahnya, Karman hidup hanya dengan ibu dan seorang adik
perempuan yang masih kecil...” ( Kubah: 61)
“ ...Karman ditangkap dalam keadaan sakit payah. Boleh jadi karena
keadaannya itulah orang tidak tega menghabisi nyawanya “ ( Kubah: 185)
c.
Alur maju
Ketika Tini menikah dengan Jabir dan Karman akhirnya
sudah bisa berbaur kembali dengan massyarakat Pegaten. Kemudian Karman
membuatkan Kubah masjid milik Haji Bakir.
“ setelah semua tamu pergi, Karman tidak segera masuk ke kamar tidur. Ia
duduk seorang diri dengan perasaan galau. Karman merasa senang karena anak
gadisnya akan menikah dengan perjaka dari keluarga baik-baik...” ( Kubah: 206 )
“ tanpa membentuk sebuah panitia, pekerjaan itu dimulai. Semua orang
mendapat bagian menurut kecakapan masing-masing. Karman memberanikan diri
meminta bagiannya. Ia menyanggupi membuat kubah yang baru bila tersedia bahan
dan perkakasnya...” ( Kubah: 208 )
Tahapan-tahapan alurnya adalah:
Ø Perkenalan
Perkenalan dimulai dari
perkenalan tokoh Karman yang mengalami konflik batin karena dia
merasa rendah diri dihadapan masyarakat. Hal ini disebabkan karena ia adalah
mantan tahanan politik di Pulau Buru.
“ Dia tampak amat
canggung dan gamang. Gerak-geriknya serba kikuk sehingga mengundang rasa
kasihan. Kepada komandan, Karman membungkuk berlebihan. Kemudian dia mundur
beberapa langkah, lalu berbalik...” ( Kubah: 5 )
Ø Konflik
Dalam Novel Kubah terdapat beberapa konflik, yaitu
kehidupan Karman yang susah sejak sepeninggal ayahnya, ketika Karman mulai
tertarik pada Rifah, dan ketika Marni memutuskan untuk menikah lagi.
Keadaan hidup Karman
setelah ayahnya meninggal:
“Sepeninggal ayahnya, Karman hidup dengan ibu dan
seorang adik perempuan yang masih kecil. Sebenarnya Karman punya dua kakak
lelaki. Tetapi keduanya meninggal dalam bencana kelaparan pada zaman penjajahan
Jepang. Keadaan keluarga Karman amat menyedihkan...” ( Kubah: 61 )
Karman
tumbuh dewasa dan mulai tertarik dengan Rifah.
“ ...maka wajar bila Rifah adalah nama pertama yang
terbaca di hati Karman ketika ia merasa sudah menjadi lelaki dewasa.” ( Kubah:
83 )
Marni
memutuskan untuk menikah lagi dengan Parta ketika Karman berada di pulau Buru.
“Yang sedang
menguasai seluruh lamunan Karman adalah Parta, seorang teman sekampung. Tujuh
tahun yang lalu, ketika Karman masih menjadi penghuni pulau buangan, Parta
menceraikan istrinya dan kemudian mengawini Marni...” (Kubah: 11)
Ø Komplikasi
Ketika Karman mulai
tertarik kepada Rifah dan bermaksud memperistri Rifah,tetapi lamaran Karman
ditolak oleh Haji Bakir karena Rifah sudah dilamar oleh pemuda lain. Sehingga
membuat Karman menjadi benci kepada Haji Bakir.
“Bahkan Karman pun
merasa punya alasan untuk berharap karena sifat Rifah yang tetap hangat.
Kemanjaannya terhadap Karman tak berubah seperti ketika keduanya masih suka
bermain baling-baling yang terbuat dari daun kelapa...” ( Kubah: 83 )
Ø Klimaks
Pada novel ini, klimaks terjadi pada saat pemberontakan Karman terhadap
Haji Bakir sudah memuncak. Hingga akhirnya Karman bergabung dengan Margo
menjadi seorang aktivis politik.
“Hanya setahun
sejak perkenalannya dengan kelompok Margo, perubahan besar terjadi pada diri
Karman.ia menjadi sinis. Segala sesuatu apalagi yang menyangkut Haji Bakir
selalu ditanggapi dengan prasangka buruk...” ( Kubah:103 )
Ø Antiklimaks
Antiklimaks dalam novel ini adalah tertangkapnya Karman dalam keadaan sakit
parah.
“Dan tamat sudah kisah
pelariannya, karena sorang gembala kerbau melihat segala gerak-geriknya. Di
siang itu beberapa orang pamong desa datang ke Astana Lopajang. Karman
ditangkap dalam keadaan sakit payah. Boleh jadi karena keadaannya itulah orang
tak tega menghabisi nyawanya.” (Kubah : 184-185)
Ø Resolusi
Tahap ini menceritakan tentang
Karman yang merasa dirinya hidup kembali dan diterima oleh warga Pegaten.
“ Karman sungguh-sungguh telah berbaur kembali dengan tiap gerak kehidupan
di
Pegaten...” ( Kubah: 199)
Ø Selesaian
Karman membuatkan Kubah yang indah untuk masjid Haji Bakir. Dia mendapat
pujian dari masyarakat Pegaten karena berhasil membuat kubah yang luar biasa
bagusnya.
“Tetapi Karman menganggap pekerjaan membuat kubah itu sebagai kesempatan
yang istimewa. Se-sen pun ia tak mengharapkan upah. Bahkan dengan menyanggupi
pekerjaan itu ia hanya ingin memberi jasa...” ( Kubah:209 )
“Karman mendengar pujian-pujian itu. Rasanya dia yakin bahwa dirinya tidak
berhak menerima semua pujian itu. Tetapi wajah-wajah orang Pegaten yang berhias
senyum, sikap mereka yang makin ramah, membuat Karman merasa sangat bahagia...”
( Kubah: 211 )
2. Tokoh
dan Penokohan
1.
Karman
Pada novel berjudul “Kubah”, Karman merupakan tokoh utamanya. Karena dari
awal sampai akhir cerita, Karman menjadi fokus pembicaraan. Disini Karman
bersifat protagonis, tetapi pada bagian tertentu ia berubah seolah-olah menjadi
tokoh yang bersifat antagonis.
·
Mempunyai
sifat rendah diri
“Dari depan gedung kodim, Karman berjalan ke barat mengikuti iring-iringan
orang banyak. Karman, meski ukuran tubuhnya tidak kecil, saat itu mersa menjadi
rayap yang berjalan diantara barisan lembu. Ia selalu merasa dirinya tak
berarti, bahkan tiada...” (Kubah : 9)
·
laki-laki yang cerdik, hal ini terjadi
ketika Karman ingin bermain dengan Rifah, putri bungsu Haji Bakir. Karman
selalu memiliki cara yang bisa ia lakukan agar bisa bermain dengan Rifah.
“Banyak cara bisa dilakukan agar Karman bisa bermain dengan gadis kecil
itu. Untuk Rifah, Karman harus punya sesuatu yang menarik hatinya...”
(Kubah : 62)
·
Penolong
“ Namun karena hendak menolong Rifah, Karman pernah mengalami kejadian yang
hampir mencelaki dirinya. “ ( Kubah: 66)
·
Memiliki sifat tidak enak hati
“Karena merasa tidak enak menganggur di rumah Haji Bakir, Karman minta
permisi pulang ke rumah ibunya sampai badannya segar kembali...”
(Kubah : 67)
·
Berhati-hati dalam mengerjakan suatu
pekerjaan
“Maka Karman bekerja dengan sangat hati-hati. Ia menggabungkan kesempurnaan
teknik, keindahan estetika, serta ketekunan...” (Kubah : 210)
·
Sosok Karman berubah menjadi tokoh
antagonis, saat Karman mulai membenci Haji Bakir karena Haji Bakir telah
menolak lamaran Karman. Dengan bukti:
”Karman memulai dengan enggan bertemu, bahkan enggan menginjak halaman
rumah orang tua Rifah. Sembahyang wajib ia tunaikan di rumah...” (Kubah : 101)
·
Mudah terpengaruh dan kadang suka marah
“Karman memiliki sifat terlalu perasa. Juga sedikit gampang terpengaruh,
dan sewaktu-waktu bisa marah.” (Kubah : 113)
2.
Marni
·
Tabah
“...Namun dengan tabah Marni menghadapi semua kesulitan hidupnya. Dicobanya
bekerja untuk memenuhi kebutuhan diri bersama ketiga anaknya yang masih kecil...”
(Kubah : 12)
·
Penyanyang
“Ditatapnya wajah Tini
dengan matanya, dengan hatinya, dengan seluruh perasaannya...” (Kubah : 53)
3.
Haji Bakir
·
Baik dan bijaksana
“Ternyata keluarga Haji Bakir tidak pernah
memperlakukan Karman sebagai pembantu rumah tangga yang sebenarnya. Anak itu
diberi kesempatan menamatkan pendidikannya di sekolah rakyat yang sudah dua
tahun ditinggalkannya. Pekerjaan yang diberikan kepada Karman adalah pekerjaan
sederhana yang bisa diselesaikan oleh anak seusianya; mengantarkan makanan bagi
orang yang sedang bekerja di sawah, menyapu rumah dan halaman, memelihara ikan
di kolam, dan melayani si manja Rifah...” (Kubah : 65)
·
Dermawan
“Tini, untuk bekal
hidupmu bersama Jabir, kuberikan sawah kepadamu yang terletak di sebelah utara
Kali Mudu itu. Luasnya satu setengah hektar. Peliharalah baik-baik pemberianku
ini. Barangkali engkau tidak tahu bahwa dahulu sawah itu adalah milik nenekmu.”
(Kubah : 207)
4.
Tini
·
Rendah diri, cepat gugup, dan mudah
tersinggung
“...Perangainya
tenang, namun dalam ketenangan itulah Tini sebenarnya menyimpan rasa rendah
diri. Akibatnya gadis remaja itu cepat gugup dan mudah tersinggung.” (Kubah :
40)
Masih banyak lagi tokoh yang terdapat dalam novel ini. Tokoh ini hanya berfungsi
sebagai latar cerita saja, yaitu Komandan, Ajudan, Parta, Birin, Asep, Kapten
Somad, Mayor Darius, Rudio, Gono, Jabir,Tini, Paman Hasyim, Bu Mantri, prajurit berbaret
merah, Pak Mantri, Bu Haji Bakir, Rifah, Pohing, Kinah, Abdul Rahman, Suto dan
Kastagethek.
Selain itu ada tokoh yang termasuk tokoh antagonis, yaitu Triman, Margo,
dan Gigi Baja. Ketiganya adalah tokoh yang bersifat antagonis dalam novel ini.
Mereka merupakan anggota PKI yang berwatak licik dan jahat.
3. Latar
1.
Latar waktu
·
Oktober 1965
“Geger Oktober 1965
sudah dilupakan orang juga di Pegaten. Orang-orang yang mempunyai sangkut paut
dengan peristiwa itu, baik yang pernah ditahan atau tidak, telah menjadi warga
masyarakat yang taat...” (Kubah : 38)
·
Permulaan tahun ajarn baru, tahun 1950
“Karman menjadi anak yang paling
berbahagia di dunia. Pada permulaan tahun ajaran baaru tahun1950, Karman sudah
menjadi murid SMP di sebuah kota kabupaten yang terdekat...” (Kubah : 81)
·
September 1948
“ Di Madiun, September
1948 terjadi pemberontakan besar...” (Kubah: 83)
·
Awal taun enam puluhan
“Yang terjadi di Pegaten pada awal tahun enam puluhan, sama seperti yang
terjadi dimana-mana. Boleh jadi orang-orang tidak senang mengingat masa itu
kembali karena kepahitan hidup yang terjadi waktu itu.” (Kubah : 146)
·
Bulan Agustus 1977
“Dari dulu, desa itu bernama Pegaten
juga pada bulan Agustus 1977 dan entah sampai kapan lagi...” (Kubah : 186)
2.
Latar Tempat
·
Desa Pegaten
Tempat yang menjadi
latar dalam novel ini secara adalah desa
Pegaten. Desa Pegaten adalah desa tempat Karman dilahirkan dan dibesarkan
sebelum Karman diasingkan ke Pulau Buru dan kembali lagi ke desa Pegaten.
Cerita-cerita yang terdapat dalam novel ini pun, seringkali menceritakan tentang
keadaan desa Pegaten dan masyarakat yang hidup di dalamnya. Hal ini dapat
dibuktikan dengan:
“Desa Pegaten yang
kecil itu dibatasi oleh Kali Mundu di sebelah barat. Bila datang hujan, sungai
itu berwarna kuning tanah...” (Kubah : 38-39)
·
Pulau Buru
“...dan semua
bersepatu serta berpakaian baik, sangat berbeda dengan keadaan ketika Karman
belum terbuang selama dua belas tahun di Pulau Buru.” (Kubah: 6)
·
Rumah Gono
“ Rumah Gono terletak
di tepi sebuah kanal kecil...” ( Kubah: 32)
·
Tragedi nasional 30 September 1965 di
desa Pegaten Madiun.
“ Di Madiun, September
1948 terjadi pemberontakan besar...” (Kubah: 83)
3.
Latar Suasana
·
Gembira yang bercampur dengan kepedihan
Hal ini terjadi ketika Marni mengirimkan
surat kepada Karman, saat Karman berada di Pulau Buru. Berikut kutipannya:
“Waktu menerima surat dari Marni itu, di Pulau Buru, mula-mula Karman merasa
sangat gembira...” (Kubah : 13)
·
mendebarkan
Hal ini terjadi ketika Karman berusaha
melindungi Rifah dari serangan kambing. Dan dapat dibuktikan dengan:
“... Karman maju melindungi Rifah yang menjerit dengan muka biru. Kedua
tanduk binatang itu ditangkapnya. Karena tenaganya kalah kuat Karman
terayun-ayun oleh empasan binatang yang marah itu. Tapi Karman bertahan sampai
beberapa orang dewasa bertindak. Rifah masih menggigil ketakutan ketika diangkat
oleh Haji Bakir.” (Kubah : 67)
·
menegangkan
Hal ini terjadi ketika lamaran Karman
ditolak oleh Haji Bakir, hingga akhirnya Karman merasa dendam kepada Haji
Bakir. Terbukti dengan:
“Rasa kecewa, marah, dan malu berbaur dihati
Karman...” (Kubah : 101)
·
menyeramkan
Hal ini terjadi ketika Karman menemui
Kastagethek yang sedang menangkap ikan. Kemudian mereka berbincang-bincang dan
Kastagethek menceritakan tentang pengalaman menyeramkannya. Hal ini dapat
dibuktikan dengan:
“Ah terserah sampean yang jelas kemarin malam saya melihatnya. Kemarin ada
sesuatu yang tiba-tiba melompat dari air dan mendarat di rakit ini...” (Kubah :
173)
·
mengharukan
Hal ini terjadi ketika Marni menjenguk
Karman di rumah Bu Mantri. Dan dapat dibuktikan dengan:
“... Dan suasana mendadak bisu tetapi
penuh haru-biru.” (Kubah : 196)
b. Sarana Cerita
1. Judul
Judul novel ini dapat menarik perhatian pembaca, pembaca akan mencoba untuk
berimajinasi menebak apa keterkaitan isi novel dengan judul yang ada yaitu
“Kubah”, pembaca baru mengetahui keterkaitan judul dengn isi novel setelah
membaca sampai akhir karena judul “ Kubah “ diambil dari akhir cerita, yaitu
ketika Karman sudah kembali taubat dan sudah kembali berbaur dengan masyarakat
pegaten. Pada akir cerita Karman membuat Kubah yang sangat indah untuk masjid
Haji Bakir. Sehingga judul yang ada dalam novel ini sudah sesuai dengan isi
novel.
2. Sudut Pandang
Sudut pandang yang
digunakan dalam novel “Kubah” adalah sudut pandang Dia-an serba tahu. Hal ini
dapat dibuktikan dengan cara penulis menceritakan tokoh-tokoh yang terdapat
dalam novelnya dengan menyebutkan nama-nama tokoh. Seperti Karman, Rifah,
Marni, Haji Bakir, dan lain-lain. Selain itu, pengarang juga mengetahui
aktivitas para tokoh termasuk pemikiran atau angan-angannya.
“Dari depan gedung kodim, Karman berjalan ke barat mengikuti iring-iringan
orang banyak. Karman, meski ukuran tubuhnya tidak kecil, saat itu mersa menjadi
rayap yang berjalan diantara barisan lembu. Ia selalu merasa dirinya tak
berarti, bahkan tiada. Demikian, pada hari pertama dinyatakan menjadi orang
bebas, Karman malah merasa dirinya tak berarti apa-apa, hina-dina. Waktu
berjalan ke barat sepanjang gili-gili itu Karman sebenarnya amat tersiksa.
Tatapan mata sekilas orang-orang yang kebetulan berpapasan terasa sangat
menyiksa. Oh, andaikan ada secuil tempat untuk bersembunyi, mungkin Karman akan
menyembunyikan diri karena pembebasan dirinya belum mampu mengembalikan dia
dari keterasingan.” (Kubah : 9)
3. Gaya Bahasa
Gaya bahasa yang dalam novel ini
menggunakan bahasa indonesia sehingga mudah dipahami. Selain itu, bahasa yang
digunakan adalah bahasa sehari-hari.
c. Tema Cerita
Tema dalam novel “Kubah” adalah taubat
atau penyesalan seseorang. Tokoh utama dalam novel ini pertama
kali diceritakan terjadi perubahan sikap dan pemikiran yang taat beragama
menjadi lelaki yang ateis atau komunis. Kemudian terjadi penderitaan lahir
batin karena kesadaran sendiri tokoh Karman untuk berpihak kepada PKI. Pada
akhir cerita tokoh Karman merasa senang karena diterima kembali oleh lingkungan
yang dahulu dibencinya, bahkan dipercaya membuat kubah yang megah di masjid
desanya.
Unsur Ekstrinsik
a. Unsur sosiologis
Novel
ini terdiri dari 11 sub-judul dimana tiap sub-judul berisi cerita dengan tema
berbeda-beda dan langsung selesai. Tetapi cerita tiap sub-judul masih
berhubungan terus hingga akhir cerita.
Novel
Kubah merupakan novel yang mempunyai ciri khas yang sama dengan novel karya
Ahmad Tohari lainnya, yakni menggambarkan permasalahan hidup yang dialami oleh
orang kecil. Walaupun ciri khasnya sama, novel Kubah ini mempunyai keunikan
tersendiri dengan novel-novel lain novel Kubah juga berlatar tragedi nasional
30 September 1965. novel Kubah mengisahkan penderitaan lahir batin tokoh Karman
karena kesadarannya sendiri untuk berpihak pada PKI. Akhir cerita novel Kubah mengisyaratkan
harapan yang menyenangkan bagi Karman. Tokoh Karman merasa senang karena
diterima kembali oleh lingkungan yang dahulu dibencinya, bahkan dipercaya membuat
kubah yang megah di masjid desanya.
Sosok
Ahmad Tohari yang tinggal di Desa Tinggarjaya sekitar 27 kilometer di sebelah
selatan Purwokerto Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang berprofesi sebagai
wartawan justru tidak dikenal sebagai seorang pengarang yang karya-karyanya
sudah mendunia. Di lingkungannya dia dikenal sebagai seorang wartawan atau
sebagai seorang santri dalam kehidupannya sehari-hari menjadi tetap lugas dan
tetap berjalan seperti apa adanya meskipun kadang-kadang dirasakan menghambat
kesempatannya untuk mengarang. Hambatan non teknis itu berkaitan dengan
kesibukannya sebagai seorang warga masyarakat yang tidak terlepas dari
kewajiban-kewajiban sosial, namun sampai saat ini lingkungan desa itu justru merupakan
sumber inspirasi dan semangatnya mengarang. Oleh karena itu, kehidupan orang
desa dengan persoalan masing-masing tampak menonjol dalam hampir seluruh karya Ahmad
Tohari. Ini terlihat hampir seluruh karyanya selalu dipengaruhi oleh realitas kehidupan
masyarakat dengan segala persoalannya. Ia percaya dan bahkan yakin bahwa karya
sastra merupakan pilihan untuk berdakwah atau mencerahkan batin manusia agar
senantiasa selalu membaca ayat Tuhan.
Dengan mengarang
ia berharap dapat berperan dalam membangun moral masyarakat dan bangsa sehingga
berkembang menjadi masyarakat yang beradab, yaitu masyarakat yang tidak suka
berbohong. Menegakkan kebenaran, kejujuran dan kasih sayang dengan latar kehidupan
desa yang memang dikenal betul oleh pengarang.
b.
Unsur psikologis
Unsur psikologis yaitu penerapan prinsip-prinsip psikologi dari
pengarangnya yang tampak dalam karya-karyanya.
Kehidupan masyarakat di novel ini mengacu pada peristiwa sekitar
G30S/PKI. Pada awalnya, keadaan aman dan damai serta suasana kekeluargaan masih
kental, yang mencerminkan masyarakat desa. Namun setelah terjadi pemberontakan
PKI, kerusuhan terjadi di mana-mana, banyak orang yang kekurangan pangan karena
terjadi inflasi, serta kejadian-kejadian buruk lain. Dan setelah kerusuhan
mereda dan pemberontakan gagal, keadaan kembali seperti semula. Keadaan ini
sangat mempengaruhi jalannya cerita, penulis juga mengungkapkan betapa rasa
kekeluargaan kental pada masyarakat zaman itu, hal ini terlihat waktu Karman
yang merupakan mantan anggota PKI ketika ingin kembali pada warga, mereka
menerima Karman dengan lapang dada.
Pendekatan:
1. Pendekatan
Analitis
Pendekatan analitis membahas mengenai hubungan antar unsur yang membangun
suatu karya sastra. Novel ini dapat ditinjau dari segi intrinsik dan
ekstrinsik. Dalam novel ini membahas mengenai komunis yang dilakonkan oleh
Karman yang merupakan salah satu tahanan komunis. Hal ini terjadi di sebuah
desa bernama Pegaten. Diceritakan tokoh Karman ikut terlibat dalam komunis
karena alasan banyak hal salah satunya pekerjaan. Selama berada di pulau
buangan, Karman ditinggal menikah oleh istrinya, Marni dengan Parta. Hal itu
menimbulkan konflik batin bagi Karman dan istrinya. Banyak terjadi perubahan di
masyarakat Pegaten saat Karman kembali lagi ke sana. Anak perempuan Karman yang
bernama Tini dipinang oleh Jabir anak Rifah, wanita yang dicintai Karman waktu
muda. Berbagai konflik dari tokoh dikemas dalam sebuah alur campuran yang
berawal dari kisah Karman di penjara kemudian lamunan masa lalu Karman dan
kembali lagi ke masa sekarang setelah Karman kembali ke Pegaten. Pengarang
sebagai orang ketiga serba tahu, mengemas cerita dan memunculkan konflik yang
bertubi-tubi pada tokoh. Hal itu mengandung tujuan memberi pesan kepada
pembaca. Didukung dengan latar belakang pengarang dan unsur sosial serta budaya
yang ada saat itu membuat cerita semakin menarik.
2. Pendekatan
Historis
Ahmad Tohari, (lahir di Tinggarjaya, Jatilawang, Banyumas, Jawa Tengah, 13
Juni 1948. ahmad tohariadalah sastrawan Indonesia. Ia menamatkan SMA N 2 Purwokerto.
Namun demikian, ia pernah mengenyam bangku kuliah, yakni Fakultas Ilmu
Kedokteran Ibnu Khaldun, Jakarta (1967-1970), Fakultas Ekonomi Universitas
Sudirman, Purwokerto (1974-1975), dan Fakultas Sosial Politik Universitas
Sudirman (1975-1976). Ia pernah bekerja di majalah terbitan BNI 46, Keluarga,
dan Amanah. Ia mengikuti International Writing Program di Iowa City, Amerika
Serikat (1990) dan menerima Hadiah Sastra ASEAN (1995).
Cerpen ini dilatarbelakangi oleh peristiwa sejarah, yaitu menceritakan tentang
kejadian G30S/PKI yang dilakonkan oleh Karman sebagai tokoh komunis.
3. Pendekatan
Didaktis
Beberapa nilai yang dapat kami simpulkan setelah
membaca novel Kubah antara lain adalah nilai budaya, nilai pendidikan, nilai
politik, dan nilai agama.
Nilai budaya dapat dibuktikan dengan paparan pengarang
mengenai budaya di desa Pegaten dan dialog antar tokohnya. Misalnya seperti
ketika Haji Bakir datang mewakili Jabir, cucunya, ketika melamar Tini. Haji
Bakir menggunakan gaya bahasa lama dan etika yang biasa digunakan oleh penduduk
Pegaten ketika hendak melamar seorang gadis.
Nilai pendidikan yang dapat kita ambil dari novel ini
adalah ketika Karman dengan mudahnya dapat dipengaruhi oleh Margo dan
kawan-kawannya sehingga kehidupannya berantakan dan akhirnya dia mendekam di
pulau Buru selama 12 tahun. Kita dapat mengambil pelajaran dan kesimpulan dari
kejadian itu.
Nilai politik mengenai masalah partai komunis yang
ingin didirikan oleh Margo dan kawan-kawan
Nilai agama dibuktikan pengarang melalui perilaku para
tokohnya, disatu sisi ada tokoh yang begitu taat beribadah seperti keluarga
Haji Bakir dan di sisi lain ada pihak yang mengingkari keberadaan Tuhan,
seperti Margo dan para anggota partai. Sedangkan tokoh utama, Karman, berada di
tengah-tengah dengan perubahan karakter seiring dengan berkembangnya alur dan
permasalahan dalam cerita.
4. Pendekatan
Sosiopsikologis
Kehidupan masyarakat di novel ini mengacu pada
peristiwa sekitar G30S/PKI. Pada awalnya, keadaan aman dan damai serta suasana
kekeluargaan masih kental, yang mencerminkan masyarakat desa. Namun setelah
terjadi pemberontakan PKI, kerusuhan terjadi di mana-mana, banyak orang yang
kekurangan pangan karena terjadi inflasi, serta kejadian-kejadian buruk lain.
Dan setelah kerusuhan mereda dan pemberontakan gagal, keadaan kembali seperti
semula. Keadaan ini sangat mempengaruhi jalannya cerita, karena latar waktu
kejadian diambil dari peristiwa waktu itu. Selain itu, penulis juga
mengungkapkan betapa rasa kekeluargaan kental pada masyarakat zaman itu, hal ini
terlihat waktu Karman yang merupakan mantan anggota PKI ketika ingin kembali
pada warga, mereka menerima Karman dengan lapang dada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar