Kamis, 11 Desember 2014

teori sastra



RINGKASAN BUKU BEBERAPA TEORI SASTRA, METODE KRITIK, DAN PENERAPANNYA
Penulis
Prof. Dr. Rachmat Djoko Pradopo


Dosen Pengampu: Maharani Intan Andalas
        Bayu Aji Nugroho


Nama                      : Sumiyati
NIM                        : 2101413106
Rombel                   : 04



Prodi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang
2013
DAFTAR ISI


HALAMAN JUDUL................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI................................................................................................................................ 2
1. MASALAH ANGKATAN DAN PENULISAN SEJARAH SASTRA................................. 4
    1. Masalah Angkatan................................................................................................................. 4
    2. Penulisan Sejarah Sastra Indonesia....................................................................................... 4
    3. Metode Estetika Resepsi dalam Penulisan Sejarah Sastra.................................................... 5
    4. Metode Perunutan Perkembangan Karya Sastra................................................................... 5
    5. Periode Sastra Indonesia....................................................................................................... 5
2. SEJARAH PUISI INDONESIA MODERN: SEBUAH IKHTISAR.................................... 7
    1. Periodesasi Puisi Indonesia Modern..................................................................................... 7
    2. Antalogi Puisi Indonesia Moden........................................................................................... 7
3. PERKEMBANGAN YANG DIALEKTIS DALAM KESUSASTRAAN INDONESIA  MODERN   8
4. PUSAT PENGISAHAN METODE ORANG PERTAMA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM ROMAN DAN NOVEL INDONESIA MODERN.................................................................................... 10
    1. Pengertian Pusat Pengisahan dan Metode-metodenya......................................................... 10
5. KRIRIK SASTRA INDONESIA MODERN DAN PERMASALAHANNYA.................... 11
    1. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra.................................................................................................. 11
    2. Kritik Sastra Akademik dan Kritik Sastra Sastrawan........................................................... 11
6. KONKRETISASI SASTRA.................................................................................................... 12
    1. Analisi Struktural dan Semiotik sebagai Usaha Pemberian Makna Karya Sastra................. 12
    2. Intertekstualitas sebagai Sarana Pemberian Makna.............................................................. 12
    3. Pemberian Makna Berdasar Relevansi Latar Sosial-Budaya................................................ 12
    4. Pengarang/Penulis sebagai Pemberi Makna Sastra................................................................ 12
    5. Pembaca sebagai Pemberi Makna Sastra............................................................................... 12
7. PENELITIAN SASTRA DENGAN PENDEKATAN SEMIOTIK....................................... 13
    1. Pengertian Semiotik.............................................................................................................. 13
    2. Tanda: Penanda atau Petanda............................................................................................... 13
    3. Bahasa dan Sastra (Kesusastraan)......................................................................................... 13
    4. Metode Semiotik dalam Penelitian....................................................................................... 13
    5. Pembacaan Semiotik: Heuristik dan Hermeneutik atau Retrokatif...................................... 13
8. ANALISIS PUISI SECARA STRUKTURAL DAN SEMIOTIK......................................... 14
    1. Amalisis Struktural dan Semiotik.......................................................................................... 14
    2. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi........................................................................................ 14
    3. Hubungan Intertekstual........................................................................................................ 14
9. HUBUNGAN INTERTEKSTUAL DALAM SASTRA INDONESIA................................. 15
    1. Orientasi Sastra..................................................................................................................... 15
    2. Hubungan Intertekstual........................................................................................................ 15
    3. Hubungan Intertekstual Karya Sastra Prosa Indonesia........................................................ 15
    4. Hubungan Intertekstual dalam Puisi Indonesia Modern...................................................... 15
10.HUBUNGAN INTERTEKSTUAL ROMAN-ROMAN BALAI PUSTAKA DAN PUJANGGA BARU       16
    1. Hubungan Intertekstual Roman-roman Balai Pustaka.......................................................... 16
    2.Hubungan Intertekstual antara Siti Nurbaya, Layar Terkembang, dan Belenggu................. 16
11. ESTETIKA RESEPSI DAN TEORI PENERAPANNYA.................................................... 16
    1. Pengertian ............................................................................................................................ 18
    2. Dasar-Dasar Teori Estetika Resepsi...................................................................................... 18
12. TINJAUAN RESEPSI SASTRA BEBERAPA SAJAK CHAIRIL ANWAR...................... 19
    1. Kerangka Teori dan Metode Estetika Resepsi...................................................................... 19
    2. Resepsi terhadap Beberapa Sajak Chairil Anwar.................................................................. 19
    3. Resepsi terhadap Sajak “ Sebuah Kamar”............................................................................ 20
13. TANGGAPAN PEMBACA TERHADAP BELENGGU..................................................... 21





































1.     Masalah Angkatan dan Penulisan Sejarah Sastra Indonesia



1.     Masalah Angkatan

Sejarah sastra merupakan salah satu cabang studi sastra yang oleh Rene Wellek (1968: 39) di pecah menjadi tiga:
·        teori sastra
·        kritik sastra
·        dan sejarah sastra
Teori sastra adalah studi sastra yang berhubungan dengan karya sastra yang konkret, sedang sejarah sastra adalah studi sastra yang membicarakan perkembangan saastra sejak lahirnya sampai perkembangannya yang terakhir ( pradopo, 1967: 9; Wellek, 1968: 255).Begitu jugalah sejarah sastra Indonesia.
Sastra (kesusastraan) suatu bangsa dari waktu ke waktu selalu mengalami perkembangan, begitu juga halnya kesusastraan indonesia. Angkatan sastra tak lain adalah sekumpulan sastrawan yang hidup dalam satu kurun masa atau menempati suatu periode tertentu. Karena mereka hidup dalam kurun masa yang sama atau periode tertentu itu, tentulah ada saling pengaruh hingga mereka mempunyai ide, gagasan, atau semangat yang sama atau setidak-tidaknya ada kemiripannya.
Ciri-ciri intrinsik karya sastra yang menjadi dasar penentuan adanya sebuah angkatan, berupa ciri-ciri yang terdapat dalam karya sastra secara konkret.Ciri-ciri tersebut meliputi jenis sastranya (genre), pikiran, perasaan, gaya bahasa, gaya penceritaan, dan struktur karya sastra yang meliputi struktur penceritaan (alur), penokohan, latar, begitu juga sarana-sarana sastranya (literary devices) seperti pusat pengisahan, simbol, humor, pembayangan, suspense, dan sebagainya.Ciri-ciri tersebut yang terdapat dalam cerita rekaan, sedang ciri-ciri dalam karya puisi meliputi: gaya bahasa, gaya sajak, pilihan kata, bahasa kiasan, citraan, sarana retorik, irama dan tak boleh dikesampingan juga ide, gagasan perasaan, tema da sebagainya. Bila dalam sekumpulan karya sastra yang terbit dalam suatu periode atau suatu kurun masa menunjukkan persamaan ciri-ciri intrinsik baik secara keseluruhan maupun sebagai ciri yang penting, maka dapatlah dikatakan bahwa ada (sudah ada) sebuah angkatan sastra yang hadir atau lahir.


2.      Penulisan Sejarah Sastra Indonesia

Penulisan sejarah sastra Indonesia dimulai dengan lahirnya, dan sebab-sebab lahirnya kesusastraan Indonesia tersebut.
Penulisan sejarah sastra Indonesia sesungguhnya dapat dilakukan dengan dua cara. Yang pertama, dengan cara teori estetik resepsi atau estetika tanggapan. Yang kedua, dengan cara teori penyusunan rangkaian perkembangan sastra dari periode ke periode atau dari angkatan ke angkatan.
Di samping itu, penulisan sejarah sastra Indonesia juga dapat dilakukan secara sinkronis dan diakronis.Secara sinkronis ialah membicarakan (menulis) sejarah sastra dalam salah satu tingkat perkembangannya atau salah satu periodenya, misalnya periode Angkatan 45 atau periode angkatan Pujangga Baru.Secara diakronis membicarakan (menulis) sejarah sastra dalam berbagai tingkat perkembangannya, dari sejak lahir hingga perkembangannya yang terakhir.
Begitu juga, penulisan sjarah sastra Indonesia dapat dilakukan dari sudut tinjauan perkembangan jenis-jenis sastranya (genres), baik prosa maupun puisi. Misalnya saja sejarah novel Indonesia, atau perkembangan puisi Indonesia modern, bahan dapat di tulis sejarah perkembangan alur dalam cerkan sastra Indonesia, perkembangan diksi dan gaya bahasa puisi Indonesia, dan sebagainya.

3.      Metode Estetika Resepsi dalam Penulisan Sejarah Sastra

Dalam penulisan sejarah sastra brdasarkan teori estetika resepsi ini, diteliti tanggapan-tanggapan pembaca, konsep-konsep tentang sastra, norma-norma sastra, yang semuanya itu menentukan penilaiannya terhadap sebuah karya sastra atau karya-karya sastra pada umumnya. Para pembaca yang dimaksudkan dalam hubungan ini ialah para pembaca yang ahli, yang dapat dianggap sebagai wakil dari tiap-tiap peiode. Para pembaca ahli ini dikemukakan oleh vodika (1964: 78) adalah para ahli sejarah sastra, ahli estetika, dan para kritikus sastra.
Dalam kesusastraan Indonesia, karya-karya sastra dari sejak Balai Pustaka sampai sekarang selalu mendapat tanggapan pembaca. Tanggapan pembaca selalu berubah. Hal ini di sebabkan seperti di atas, oleh perbedaan cakrawala harapan yang ditentukan oleh konsep-konsep sastra setiap periode.
Jadi, menurut teori estetika resepsi ini, sejarah sastra itu adalah sejarah karya sastra dari periode ke periode atau sejarah resepsi sastra dari periode ke periode.


4.      Metode Perunutan Perkembngan Karya Sastra

Metode penyusunan sejarah sastra yang kedua adalah perunutan perkembangan karya sastra yang disusun dalam kelompok-kelompok besar atau kecil, sesuai dengan kepengarangan atau jenis-jenis sastra (genre), tipe-tipe gaya, atau tradisi kebahasaan (Wellek, 1968: 255)
Penyusunan sejarah sastra bukanlah hanya penderetan pembicaraan karya-karya sastra yang terbit sewaktu disusun secara kronologis atau berdasarkan urutan waktu terbitnya semata-mata. Penyusunan sejarah sastra harus sekaligus bersifat sejarah dan sastra ( Wellek, 1968: 252), dalam arti harus berdasar urutan waktu dan perkembangan ciri-ciri intrinsik sastranya.
Dalam menyusun sejarah sastra itu diperlukan bantuan kritik sastra, diperlukn prinsip-prinsip kritik sastra, untuk menentukan karya sastra bernilai ( sastra ) atau tidaak, menunjukkan perkembangan nilai dan ciri-cirinya atau tidak.



5.      Periode Sastra Indonesia

Sampai sekarang para tokoh sastra Idonesia yang membuat periodesasi diantaranya H. B Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Noto Susanto, Bakri Siregar, dan Ajip Rosidi. Pada umumnya periodesasi mereka menunjukkan persamaan pada garis besarnya. Namun ada perbedaan kecil-kecilan juga, yaitu mengenai batas-batas waktu setiap periode dan penekanan ciri-cirinya, maka gambaran sesungguhnya periode-periode sejarah sastra Indonesia bertumpang tindih sebagi berikut.
1.      Periode Balai Pustaka : 1920-1940
2.      Periode Pujangga Baru: 1930-1945
3.      Periode Angkataan 45: 1940-1955
4.      Periode Angkatan 50: 1950-1970
5.      Periode Angkatan  70: 1965-Sekarang (1984)


a.      Periode Balai Pustaka: 1920-1940

Jenis sastra periode ini terutama adalah roman, ada juga cerita pendek, tetapi sedikit, baru ditulis sebagai pernyataan seni pada akhir periode ini, seperti yang terkumpul dalam buku Hamka Di Dalam Lembah Kehidupan (1940).

b.      Periode Pujangga Baru : 1930-1945

Pada periode ini jenis sastra puisi sangat dominan, disamping itu cerita pendek mulai banyak ditulis, begitu juga drama.
Pada umumnya karya sastra beraliran romantik, baik prosa ataupun puisinya. Lebih-lebih hal ini disebabkan oleh pengaruh sastra romantik Negeri Belanda Gerakan 80.

c.       Periode Angkatan 45 : 1940-1955

Pada periode ini berkembang jenis-jenis sastra puisi, cerita pendek, novel, dan drama, lebih-lebih puisi dan cerita pendek meluas. Pada periode ini keadaan perang mempengaruhi penciptaan sastra dalam permasalahan dan gayanya.
Sastrawan-sastrawan yang menonjol dalam periode ini di antaranya Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin, Idrus, Ahdiat K. Miharja, Pramudya Ananta Toer, Sitor Situ morang, Mochtar Lubis, dan Usmar Ismail.

d.      Periode Angkatan 50: 1950-1970

Sesungguhnya, secara intrinsik ciri-ciri sastra, terutama struktur estetiknya, Angkatan 45 dan angkatan 50 sukar dibedakan sebab gaya Angkatan 45 dapat dikatakan diteruskan oleh Angkatan 50. Hanya saja, dengan adanya pergantian situasi suasana tanah air dari perang ke perdamaian, dari masa transisi panjajahan ke kemerdekaan, maka para sastrawan mulai memikirkan masalah-masalah kemasyarakatan yang baru dalam suasana kemerdekaan.

e.       Periode Angkatan 70: 1965-sampai sekarang (1984)

Dalam periode ini berkembang apa yang disebut sastra pop, novel-novel pop, yang secara literer tidak menunjukkan adanya perkembangan sastra sebab boleh dikatakan bercorak konvensional dan stereo-type.





                                            




2.     Sejarah Puisi Indonesia Modern: Sebuah Ikhtisar

Sejarah sastra adalah studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra dari lahirnya sampai pada perkembangannya yang terakhir ( Pradopo, 1988: Wellek, 1968: 25)
Sejak lahirnya (1920) sampai sekarang (1990), kesusastraan Indonesia modern selalu berkembang. Dengan demikian, hal ini memuat adanya persambungan sejarah sastra Indonesia, baik dalam rangka prosa maupun puisi. Sampai sekarang, yang merupakan sajak Indonesia modern yang pertama adalah sajak “Tanah Air” yang ditulis oleh M. Jamin (Muhammad Yamin), terdapat dalam Jong Sumatra No. 4, Tahun lll, April 1920. Sebuah karya sastra itu sesungguhnya merupakan response terhadap karya sebelumnya.
Di pandang dari hal tersebut itu, sajak Muhammad Yamin merupakan response terhadap sajak-sajak yang telah ada, baik berupa penentangan ataupun penyimpangan terhadap norma-norma puisi seelumnya.

1.      Periodesasi Puisi Indonesia Modern

Pembabakan waktu Puisi Indonesia modern dapat disusun seagai berikut.
1.      a. Periode Pra-Pujangga Baru: 1920-1933
b. Periode Pujangga Baru: 1933-1942
       2. Periode Angkatan 45: 1942-1955
       3. Periode 50-60-an: 1955-1970; dan


2.      Antalogi Puisi Indonesia Modern

Sampai sekarang ada beberapa antologi sastra. Dapat dikatakan H. B Jassinlah yang pertam kali menyusun antalogi alias bunga rampai sastra yang terbanyak. Akan tetapi, pastilah Sutan Takdir Ali Syahbana yang pertama kali menyusun antalogi puisi seperti  tampak pada: puisi baru yang merupakan antalogi puisi pujangga baru. Pertama kali H.B Jassin menyusun antalogi sastra Angkatan 45: kesusastraan di Masa Jepang dan Gema Tanah Air. Kemudian menyusun antalog sastra pujangga baru berjudul Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, sesudah itu menyusun antalogi sastra periode 1955-1970: Angkatan 66: prosa dan puisi.Ajip Rosidi pun menyusun antalogi sastra periode 1955-1970: Laut Biru Langit Biru (1977). Penyusun antalogi khusus puisi adalah Linus Suryadi Ag,: Tugu (1986), khusus penyair-penyair (32 penyair) Yogyakarta dan empat jilid penyair Indonesia modern sejak 1920 sampai dengan 1987 berjudul Tonggak I, II, III,IV. Antalogi sajak ini disusun menurut tahun kelahiran para penyairnya, tidak berdasarkan periode atau angkatannya. Dengan demikian, Subagio Sastrowardojo yang lahir dua tahun sesudah Chairil Anwar(1922), tahun 1924, sajak-sajaknya terdapat  dalam Tonggak I sejilid dengan sajak Chairil Anwar meskipun ia dapat digolongkan penyair periode 1955-1970 dan masih tetap menulis sajak hingga sekarang.

     







3.      Perkembangan yang Dialektis dalam Kesusastraan Indonesia Modern
( Dialektif Kedaerahan-Nasional-Internasional-Kedaerahan)

Kesusastraan Indonesia modern merupakan respon atau tanggapan terhadap kesusastraan Indonesia lama yang merupakan kesusastraan daerah-daerah atau sastra Nusantara. Selain bentuk baru dalam karya sastra Indonesia modern awal, yaitu sastra Balai Pustaka dan Pujangga Baru, sebelum Perang Dunia II bentuk baru itu berupa puisi lirik yang lain dari bentuk pantun dan syair, menyimpangi konvensi bentuk syair dan pantun, dan isinya berupa pernyataan pribadi penyair yang dalam puisi lama belum ada (Teeuw, 1955: 72). Puisi baru dan puisi lama itu seperti berikut kalau dijajarkan.

Syair
SYAIR BURUNG PUNGGUK

                                    Pertama mula pungguk merindu,
                                    Berbunyilah guruh mendayu-dayu
                                    Hatinya rawan bercampur pilu,
                                    Seperti diiris dengan sembilu.
                                    ..................

Pantun
                                    Kalau tuan pergi ke Tanjung
                              Kirim sahaya sehelai baju.
                              Kalau tuan menjadi burung,
                              Sahaya menjadi ranting kayu.
                              ..................

            Akan tetapi, pada akhir sastra Balai Pustaka dan Pujangga Baru itu, mulai tampak pula unsur kedaerahan yang mulai masuk kedalam sastra nasional, entah disadari atau tidak. Unsur kedaerahan itu berupa latar sosil-budaya daerah, selain latar sosial-budaya daerah Minangkabau, adalah latar sosial-budaya daerah Bali dan Jawa.
            Pada masa angkatan 45, dalam drama terbit buku Rustandi Kartakusuma berjudul Prabu dan Putri (1950) yang menampilkan unsur sastra daerah, latar sosial-budaya daerah Sunda. Penggalian unsur-unsur sastra-budaya daerah ini menjadi lebih “gencar” dan berkembang lagi sesudah pertengahan tahun 1950-an dengan masuknya puisi balada dalam sastra Indonesia modern.
            Kalau dilihat dari awal sastra Indonesia modern, tampaklah bahwa unsur sastra daerah direspons oleh sastra internasional, kemudian unsur sastra internasional itu direspons unsur latar sosial-budaya daerah, termasuk unsur sastra derah, kemudian masuk lagi arus unsur sastra internasional, tetapi sekaligus disertai tampilnya latar sosial-budaya daerah yang makin gencar. Hal demikian ini berlangsung terus sampai sekarang.
            Pada tahun 1970-an, lebih-lebih unsur sastra daerah yang berupa puisi mantra lebih dieksploitasi oleh para penyair Indonesia. Salah satu sajak bergaya mantra sebagai contoh berikut.





BANDANDID

Maka adalah pasir
Maka adalah batu
Adalah bayang
Adalah air
Dan ini dan itu dan engkau dan aku: DANDANDID


            Dalam prosa pun tampak latar sosial-budaya daerah ( Nusantara) menjadi menonjol dalam sastra Indonesia modern periode 1970-1990, yang tampak ditampilkan secara sadar.
            Pada tahun 1970-an dan 1980-a, unsur sastra universal dan unsur-unsur sosial –budaya daerah (Nusantara ) secara “serentak” msuk dalam sastra nasional Indonesia modern. Semuanya itu membuat sintese wujud sastra Indonesia modern berunsur daerah-nasional-dan universa, yang semuanya saling bertentangan ataupun terpadu. Semuanya  itu menunjukkan wujud tranformasi budaya universal-daerah kedalam sastra nasional Indonesia modern.
            Dalam tahun 1980-an selama satu dekade, karya-karya sastra yang menampilkan latar sosial-budaya daerah makin berkembang.

































4.     Pusat Pengisahan Metode Orang Pertama dan Perkembangannya dalam Roman dan Novel Indonesia Modern

         
1.      Pengertian Pusat Pengisahan dan Metode-metodenya

Ada bermacam-macam cara pengisahan cerita. Pusat pengisahan ini merupakan cara bercerita dari titik pandang mana atau siapa cerita itu dikisahkan. Pusat pengisahan menerangkan “siapa yaang bercerita” (Saad, 1967: 125).
Ada beberapa sudut pandang dalam mengisahkan cerita sebagai berikut. Cara bercerita dari mcam-macam sudut pandang ini oleh Wellek dan Werren (1976: 222-223) disebut metode sudut pandang.Pencerita atau narator dapat menngisahkan cerita orang lain sebagai orng ketiga atau dengan metode orang ketiga (metode dia, mereka). Dapat juga narator menceritakan kisahnya sendiri; pusat pengisahan ini disebutmetode orang pertama ( metode aku ata  ich-erzahlung).
Metode orang ketiga tidak hanya semacam. Wellek dan Warren (1976:223) membagi menjadi dua, pertama metode objektif dan kedua, metode romantik-ironik.
Metode orang pertamapun ada dua macam, yaitu pertama, metode orang pertama sertaan, disini narator menceritakan pengalaman atau ceritanya sendiri, si pencerita menyebut tokoh utama sebagai aku. Jadi, disitu narator ber-aku mengisahkan dirinya sendiri. Yang kedua,  dalam metode aku tak sertaan narator sebagai aku menceritakan atau menyaksikan tokoh utama, baik tokoh utama beraku atau diceritakan sebagai dia atau mereka. Jadi, di sini aku tak sertaan itu sebagai “saksi” terhadap cerita orang lain yang menjadi tokoh utama cerita yang dikisahkan.
Roman dan novel yang menjadi sampel dalam tulisan ini adalah Di Bawah Lindungan Kaabah, Atheis, Gairah untuk Hidup dan untuk Mati, Pada Sebuah Kapal, Raumanen, Burung-burung manyar, Olenka, dan Para Priyayi. Dari sampel-sampel tersebut terjadi persambungan dalam sejarah sastra Indonesia modern, akan lebih mengertilah pembaca bila menghubungkan karya sastra yang satu dengan yang lainnya, karya sastra sebelumnya dan sesudahnya.



















5.     Kritik Sastra Indonesia Modern dan Permasalahannya

1.      Prinsip-prinsip Kritik Sastra

Kritik sastra merupakn studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada penilaiannnya (Wellek, 1978: 35). Hal ini sesuai dengan pengertian kritik sastra Indonesia modern juga, seperti dikemukakan oleh H. B Jassin (1959: 44-45), yaitu kritik sastra itu merupakan pertimbangan baik buruk karya sastra, penerangan dan penghakiman karya sastra.
Untuk mengenal permasalahan kritik sastra lebih lanjut perlu dikemukakan guna kritik sastra dapatdi golongkan menjadi tiga (Pradopo, 1988: 17), yaiu, pertama untuk perkembangan ilmu sastra sendiri, kedua, untuk perkembangan kesusastraan, dan ketiga untuk penerangan masyarakat pada umumny yang menginginkan penerangan tentang karya saastra.
Aspek-aspek pokok kritik sastra adalah analisis, interpretasi ( penafsiran ), dan evaluasi atau penilaian.
Untuk menganalisis, menafsir, dan menilai karya sastra adalah orientasi karya sastra yang menentukan arah atau corak kritik sastra. Orientasi karya sastra itu secara kesuruhan situasi karya sastra: alam (kehidupan), pembaca, penulis,dan karya sastra.

2.      Kritik Sastra Akademik dan Kritik Sastra Sastrawan

Corak kritik akademik ini berbeda dengan kritik sastrawan sebelumnya. Kritik sastranya berupa penelitian ilmiah terhadap karya sastra dengan metode ilmiah. Ciri-ciriny ialah pembicaraan yang sampai kepada hal-hal yang berkecil-kecil, ada analisis yang merenik, disusun dalam susunan yang sistematik, segala (sebagian besar) unsur karya sastra disoroti, ada pertanggingjawaban ilmiah dengan penyebutan data yang akurat, pernyataan di sertai argumentasi dan pembuktian, menggunakan sandaran pandangan atau pendapat para ahli sastra yang berhubungan untuk memperkuat pernyataan atau agumentasinya, mempergunakan metode ilmiah baik metode deduktif maupun induktif, bahkan juga dipergunakan metode statistik dan tabel, dan mempergunkan teknik penulisan yang lain.
Timbulnya kritik ilmiah ini segera menimbulkan reaksi para sastrawan. Meskipun ada reaksi dari para sastrawan, kritik akademik terus berjalan, terus ditulis oleh para kritikus akademik, terutama untuk penulisan skripsi, penelitian sastraa ilmiah, makalah, dan disertasi. Dengan makin bnyaknya diterbitkan kritik sastra ilmiah berupa buku (seri kritik sastra), pada tahun 1960-an timnul reaksi baru dari para sastrawan diantaranya yang tampil kedepan adalah Goeawan Mohamad dan Soe Hok Djin (Arief  Budiman). Mereka memberi ciri kritik akademik sebagai kritik anlitik.












6.     Konkretisasi Sastra

Konkretisassi adalah pemberian makana. Dengan konkretisasi itu, maka sastra yang sebelumnya tidak itu dikonkretkan hingga dapt dipahami.

1.      Analisis Struktural dan Semiotik sebagai Usaha Pemberian Makna Karya Sastra

Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks. Oleh karena itu, unuk dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis.
Anlisis strutural tidak dapt dipisahkan dengan analisis semiotik. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan struktur (sistem) tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda tersebut mempunyai makna sesuai dengan konvensi ketandaan. Karya sastra merupakan  tingkat pertama. Studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena itu, menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti (Preminger, 1974: 981).

2.      Intertekstualitas sebagai Sarana Pemberian Makna
 
Sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Misalnya dalam hal masalah emansipasi roman Belenggu mendapat makna hakikinya bila dikontraskan dengan layar terkembang yang menjadi hipogramnya.

3.      Pemberian Makna Berdasar Relevansi Latar Sosial-Budaya

Untuk memahami dan memberi makna kepada karya sastra, latar sosial-budaya ini harus diperhtikan. Misalnya saja bila pembaca (kritikus) hendak memahmi ( memberikan makna ) novel Upacara Karya Konei Layun Rampan, maka diharapkan orang dapat memahami latar masyarakat dan udaya Dayak. Begitu juga, bila orang hendak memahami dan memberi makna Pengakuan Pariyem prosa liris Linus Suryadi Ag, maka haruslah diketahui konsep hidup orang jawa dan kebudayaannya.



4.      Pengarang/Penulis sebagai Pemberi Makna Sastra

Karya sastra tidak lepas dari penulisnya. Penulis atau pengarang memberikan intensinya dalam karyanya. Karya sastra merupakn laupn atu penjelmaan perasaan, pikiran, dan pengalaman (dalam arti luas) pengarangnya. Oleh karena itu, faktor pengarang tidak dapat diabaikan meskipun tidak harus dimutlakkan.
Pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan pengarang tentang seni sastra pada umumnya sangat bermanfaat untuk mempermudah penangkapan makna karya sastranya.

5.      Pembaca sebagi Pemberi Makna Sastra

Karya sastra tidak akan mempunyai makna bila tidak di beri makna oleh pembaca, maka sesungguhnya pembaca (termasuk kritikus dan ahli sastra) mempunyai peranan yang sangat penting dalam konkretisasi.


7.Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik


1.      Pengertian Semiotik

Semiotik adalah  ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan itu erupakan tanda-taanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mepunyai arti.

2.      Tanda: Penanda dan Petanda

Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda(signifer) dan petanda (signifzed). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang di tandai oleh penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan bunyi yang menandai arti:’orang yang melahirkan kita’.

3.      Bahasa dan Sastra (Kesusastraan)

Sastra (karya sastra) merupakan karya seni yang mempergunakan bahasa sebagai mediumnya.
Dalam karya sastra, arti bahasa di tentukan oleh konvensi sastra atau disesuaikan dengan konvensi sastra. Jadi, dalam sastra arti baasa ditingkatkan menjadi arti sastra atau makna meskipun tidak lepas sama sekali dari arti bahasanya. Dalam sastra, arti bahasa itu mendapat arti tambahan atau konotasinya. Lebih-lebih dalam puisi, konvensi sastra itu sangat jelas memberi arti tambahan kepada arti bahasanya.

4.      Metode Semiotik dan Penelitian

Dikemukakan Preminger dkk (1974: 981) bahwa penerangan, aemiotik itu memandang objek-objek atau laku-laku sebagai parole (laku tuturan) dari suatu  langue (bahasa: sistem linguistik) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis.
Dikatakan selanjutnya oleh Preminger bahwa studi semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sistem tanda-tanda. Oleh karena itu, peneliti harus menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai makna.

5.      Pembacaan Semiotik:  Heuristik dan Hermeneuitik atau Retrokatif

Untuk dapat memberi makna sajak secara semiotik, pertama kali dapat dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif.
Pembacaan heruistik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau seara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat pertama.Pembacaan Hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem semiotik tingkat kedu atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembcaan hermeneutik adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi konvensi sastranya.




8.Analisis Puisi Secara Struktural dan Semiotik

Teori struktural dan semiotik merupakan teori kritik sastra obektif. Dikemukakan Abrams bahwa ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu pendekatan.
1.      Mimetik: menganggap karya sastra sebagai tiruan alam (kehidupan)
2.      Pendekatan pragmatik: menganggap karya sastra itu adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu
3.      Pendekatan ekspresif: menganggap karya sastra sebagai ekspresi perasaan, pikiran, dan pengalaman penyair(sastrawan)
4.      Pendekatan objektif: menganggap karya sastra sebagai sesuatu yang otonom,terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang.

1.      Analisis Struktural dan Semiotik

Untuk menganalisis struktur sistem tanda ini perlu adanya kritik struktural untuk memahami makna-makna tanda yang terjalin dalam sistem (struktur) tersebut. Oleh karena itu, analisis semiotk itu tak dapat dipisahkan oleh analisis struktural.

2.      Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi

Ketidaklangsugan pernyataan puisi itu menurut Riffaterre (1978: 2) disebabkan oleh tiga hal: peggantian  arti (displacing), penyimpangan arti (distorting), dan penciptaan arti (creating of meaning).

3.      Hubungan Intertekstual

Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan itertekstualitas antara suatu karya sastra dengan karya sastra lain, baik antara kaya sezaman ataupun zaman sebelumnyabanyak terjadi. Misalnya dapat kita lihat antara karya-karya Pujangga Baru dengan Angkatan 45, ataupun dengan karya lainnya.
Maka untuk memahami dan mendapatkan makna penuh sebuah sajak perlu dilihat hubungan intertekstualitas ini. Misalnya saja beberapa sajak Chairil Anwar mempunyai hubungan intertekstul dengan sajak-sajk Amir Hamzah. Hubungan intetekstual itu menunjukkan adanya persamaan dan pertentangan dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan.















9. Hubungan Intertekstual dalam Sastra Indonesia

1.      Orientasi Sastra

Dalam bidang kritik sastra ada bermacam-macam orientasi atau pendekatan terhadap karya sastra.Abrams mengemukakan bahwa bermacam-macam penekatan itu dapat disimpulkan menjadi empat tipe berdasarkan keseluruhan situasi karya sastra: alam, pembaca, pengarang dan karya sastra, yaitu pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik,dan objektif. Keempat pendekatan tersebut sepanjang sejarahnya telah mengalami pendebatan-pendebatan dan dialektika yang tidak ada henti-hentinya hingga sekarang.

2.      Hubungan Intertekstual

Dalam menganalisis karya sastra, kritikus secara aktif memberi makna kepada unsur-unsur karya sastra dan keseluruhan karya sastra.
 Untuk mendapatkan makna sepenuhnya itu dalam menganalisis tidak boleh dilepaskan karya sastra dari konteks sejarah dan konteks sosial-budayanya dalam hubungan pembicaraan intertekstualitas ini bserkenaan dengan konteks sejarah sastranya.

3.      Hubungan Intertekstual Karya Sastra Prosa Indonesia

Hubungan intertekstual dalam karya sastra prosa Indonesia modern, misalnya dapat dilihat antara Di Bawah Lindungan Kaabah (DLK) karya Hamka dengan Atheis karya Achdiat Kartamihardja dan Gairah Untuk Hidup dan untuk Mati karya Nasijah Djamin (GHM), Bahkan juga burung-burung manyar karya Y.B Mangunwijaya. Di Bawah Lidungan Kaabah merupakan hipogram karya-karya yang kemudian itu, kecuali Burung-Burung Manyar yang berhipogram Atheis.  
Tampak adanya hubungaan intertekstual antara DLK, Atheis, dan GHM terutama mengenai struktur cerita (alur) dan pusat pengisahannya di samping masing-masing mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri.
Ketiganya (DLK, Atheis, GHM) berstruktur terdiri dari tiga bagian, beralur sorot balik, berpusat pengisahan metode orang ketiga.

4.      Hubungan Intertekstual dalam Puisi Indonesia Modern

Intertekstualitas puisi sastra Indonesia modern dapat dilihat misalnya antara sajak-sajak Amir Hamzah dengan Sajak-sajak Chairil Anwar. Begitu juga sajak-sajak Chairil Anwar dengan sajak-sajak para penyair sesudahnya. Intertekstual antara sajak-sajak Amir Hamzah dengan sajak-sajak Chairil Anwar pada umumnya menunjukkan adanya hubungan pertentangan. Sjak-sajak Chairil Anwar merupakan penentangan terhadap konvensi estetik dan tradisi kepuisin sajak-sajak Pujangga Baru (dan sajak lama) yang tampak jelas terwakili oleh sajak-sajak Amir Hamzah. Adapun intertekstualitas antara sajk-sajak Chairil Anwar dengan sajak-sajak para penyair sesudahnya merupakan hubungn persamaan.






10. Hubungan Intertekstual Roman-roman Balai Pustaka dan Pujangga Baru


1.      Hubungan  Intertekstual Roman-Roman Balai Pustaka

Roman Indonesia modern yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka adalah ‘Azab dan Sengsara’ karya Merari Siregar pada tahun 1921. Sesudh itu  munculah roman-roman yang lain. Roman yang memasalahkan adat, terutama adat yang berubungan dengan perkawinan yang terkenal dengan kawin paksa, dapat dikatakan menjadi hipogram roman-roman yang terbit sesudahnya. Hubungan antarteks ini bukan hanya mengenai pikiran-pikiran yang dikemukakan, melainkan juga mengenai struktur penceritaan atau alurnya. Roman Azab dan Sengsara sendiri berhipogram roman-roman Hindia Belanda.


2.      Hubungan Intertekstual Antara Siti Nurbaya, Layar Terkembang, dan Belenggu

Pembicaraan hubungan intertekstual antara roman Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisjahbana, dan Belenggu karya Arminjn Pane adalah khusus mengenai masalah emansipasi wanita.

a.Masalah Emansipasi Wanita dalam Siti Nurbaya

Dapat dikatakan masalah emansipasi wanita merupakan gema dari surat-surat Kartini yang terkenal itu yang didalamnya di kemukakan bahwa hak dan kebebasan wanita Timur, khususnya Indonesia, masih sangat rendah di bawah laki-laki. Wanita tidak mempunyai hak dan kebeasan dalam menuntut ilmu, berbuat, dan bergaul. Kalau perempuan sudah dewasa sebelum perkawinan harus dipingit, tidak dapat menolak kawin paksa menurut adat dan tidak dapat menolak poligami yang menyengsarakannya. Seorang anak perempuan tidak boleh mempunyai hak yang sekiranya sedikit saja merugikan kepentingan orang laki-laki. Oleh karena itu, Kartini ingin membebaskan dan membela nasib perempuan yang ditindas, bercita-cita membebaskan beribu-ribu jiwa perempuan.
            Masalah emansipasi wanita ini secara khusus dibicarakan dalam Siti Nurbaya pada bab XII.

b. Masalah Emansipasi Wanita dalam Layar Terkembang

            Masalah emansipasi wanita yang bersifat verbal dalam Siti Nurbaya itu di transformasikan dalam Layar Terkembang diwujudkan dalam cerita, bahkan didramatisir, dengan diberi tokoh Tuti sebagai seorang wanita pejuang emansipasi wanita, tokoh organisasi wanita yang selalu memperjuangkan persamaan hak wanita dan pria. Perjuangan wanita ini digemakan dalam pidato-pidato Tuti didepan majelis secara bergelora dan menggebu-gebu. Begitu juga Tuti berusaha mengamalkan persamaan hak ini dalam kehidupannya. Ia mengajak kaum wanita untuk menyadari hak dan kewajibannya dan mengamalkan dalam kehidupannya demi hidupnya sendiri dan demi kemajuan nusa bangsa.
            Layar Terkembang roman bertendens kemajuan bangsa, yang mencakup juga kemajuan wanitanya. Untuk itu dibentuk tokoh-tokoh yang sesuai dengan tendens tersebut. Dalam Layar Terkembang ada tiga tokoh penting yaitu Tuti, Maria, dan Yusuf. Ketiganya dijalin dalam hubungan pertentangan dan persamaan. Terutama dipertentangkan tokoh Tuti dan Maria dalam hal wataknya. Semua itu menunjukkan tendens tersebut.

c. Masalah Emansipasi Wanita dalam Belenggu

            Pada waktu Marah Rusli menulis Siti Nurbaya, pergerakan wanita baru mulai, tampaknya memang kedudukan wanita masih sangat rendah. Meskipun sudah ada keadaan yang lebih baik dari masa Kartini, berkat rintisan Kartini dan tokoh-tokoh wanita yang lain, sudah banyak gadis-gadis yang bersekolah dan terpelajar, namun nampaknya nasib wanita menyedihkan, adat masih kuat menghambat kemajuan wanita. Rupanya pada masa Takdir menulis Layar Terkembang, empat belas tahun kemudian dari Siti Nurbaya yang terbit 1922, keadaan wnita sudah lebih baik. Sudah banyak tokoh wanita seperti Tuti yang memperjuangkang memperjuangkan emansipasi wanita untuk mendapatkan kedudukan emansipasi wanita untuk mendapatkan kedudukan wnita yang lebih baik lan wnita yang lebih baik lagi, untuk kemajuan wnita bagi dirinya sendiri dan demi kemajuan nusa bangsa. Rupanya perjuangan wanigi, untuk kemajuan wnita bagi dirinya sendiri dan demi kemajuan nusa bangsa. Rupanya perjuangan wanita empat tahun kemudian, yaitu 1940, ketika Belenggu ditulis Arminj Pane, sudah kelihatan hassilnya, banyailnya, banyak wanita terpelajar, sudah tampak adanya kebebasan pergaulan diantar wanita dempak adanya kebebasan pergaulan diantar wanita dengan wanita, antara wanita dengan pria. Rupanya keberhasilan perjuangan wanita untuk persamaan hak dengan laki-laki sudah tampak nyata. Setngan wanita, antara wanita dengan pria. Rupanya keberhasilan perjuangan wanita untuk persamaan hak dengan laki-laki sudah tampak nyata. Setidak-tidaknya di kalangan terpelajar yidak-tidaknya di kalangan terpelajar yang mungkin banyak. Bahkan, keberhasang mungkin banyak. Bahkan, keberhasilan perjuangan emansipasi itu sudah membawa ekses. Setidak-tidaknya tampak dalam mata Armijn Pane, seperti terlihat dalam Belenggu.
            Oleh karena itu, Belenggu tampaknya mereaksi Layar Terkembang dalam hal emansipasi wanita meskipun tidak seluruhnya. Dalam Belenggu tampak adanya ekses emansipasi wanita ini. Emansipasi yang se
            Oleh karena itu, Belenggu tampaknya mereaksi Layar Terkembang dalam hal emansipasi wanita meskipun tidak seluruhnya. Dalam Belenggu tampak adanya ekses emansipasi wanita ini. Emansipasi yang secara menggebu-gebu diperjuangkan Takdir lewat tokoh Tuti. Becara menggebu-gebu diperjuangkan Takdir lewat tokoh Tuti. Belenggu mereaksi ini dengan menampilkn tokoh Tini “ yang sangat terpelajar”, yang sangat tahu akan hak-haknya. Jadi hubungan intertekstual antara Layar Terkembang dengan Belenggu itu adalah hubungan pertentangan. Belenggu hendak meluruskan pengertian yang tidak benar tentang emansipasi wanita “ yang berlebih-lebihan”.














11. Estetika Resepsi dan Teori Penerapannya

1.      Pengertian

Yang dimaksud dengan estetika resepsi atau estetika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap karya sastra.

2.      Dasar-Dasar Teori Estetika Resepsi

a.Cakrawala Harapan dan Tempat Terbuka

Cakrawala harapan ini ialah harapan-harapan seorang pembaca terhadap karya sastra. Tiap pembaca mempunyai wujud sebuah karya sastra sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Dalam arti, seorang pembaca itu mempunyai konsep atau pengertian tertentu mengenai sebuah karya sastra, baik sajak, cerpen, maupun novel. Seorang pembaca itu “mengharapkan bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian sastra yang dimilikinya. Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seorang dengan orang lain itu mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode dengan periode lain itu tentu akan sangat berbeda. Perbedaan itu disebut perbedaan cakrawala harapan. Cakrawala harapan seseorang it itu ditentukan oleh pendidikan, pengaalman, pengetahuan, daan kemmpuan dalam menanggapi karya sastra. Begitu juga halnya karya sastra u ditentukan oleh pendidikan, pengaalman, pengetahuan, daan kemmpuan dalam menanggapi karya sastra. Begitu juga halnya Cakrwala harapan sebuah periode.

b. Metode Estetika Resepsi

            Metode estetika resepsi mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya.
            Penilaian estetika tanggapan (resepsi) dapat dikenakan pada naskah-naskah tulisan tangan sastra lama maupun sastra modern yang tercetak.

c. Penelitian Estetik Resepsi Naskah Tulisan Tangan Sastra Lama

Dalam karya sastra lama yang dicipta dalam kurun waktu sebelum adaa percetakan, didapat adanya beberapa versi naskah tulisan tangan dari sebuah karya sastra. Hal ini disebabkan oleh penurunan naskah tulisan tangan dilakukan oleh beberapa orang yang menyalin naskah dengan tulisan tangan. Versi-versi tersebut pada umumnya menunjukkan adanya perbedaan-perbedaan meskipun bersumber dari satu naskah yang tertua.
Dalam meneliti salah satu versi ini biasanya peneliti mempergunakan metode perbandingan teks, membandingkan naskah yang tertua.Dalam meneliti salah satu versi ini biasanya peneliti mempergunakan metode perbandingan teks, membandingkan naskah yang satu dengan yang lain. Metode ini disebut metode Stema.

d. Penelitian Estetika Resepsi Pada Karya Sastra Modern

Secara relatifpenelitian resepsi karya sastra modern lebihmudah daripada penelitian resepsi karya sastra lama, dalam arti, bahwa tanggapan-tanggapan atas karya sastra modern masih mudah didapatkan sebab jarak antara peneliti dengan waktu terbitnya belum jauh sehingga naskahnya masih tersimpan, dan secara relatif lebih mudah didapaatkan.
12. Tinjauan Resepsi Sastra Beberapa Sajak Chairil Anwar


1.      Kerangka Teori dan Metode Estetika Resepsi

a.Teori Estetika Resepsi
           
            Ilmu sastra yang berhubungan dengan tanggapan pembaca terhadap karya sastra disebut Estetika Resepsi.
             Perbedaan pembacaan karya sastra seorang pembaca dari suatu periode ke periode yang lain itu disebabkan oleh dua hal yang merupakan dasar teori estetika resepsi. Yang pertama prinsip horizon harapan dan kedua adalah tempat terbuka.

b. Metode Estetika Resepsi

2.      Resepsi Terhadap Beberapa Sajak Chairil Anwar

Sejak terbitnya sampai sekarang, sajak-sajak Chairil Anwar mendapat resepsi para pembacanya baik resepsi yang positif maupun yang negatif, yang disebabkan oleh horizon harapan yang berbeda.
Sudah diketahui oleh umum, masyarakat sastra Indonesia modern, bahwa H.B Jassinlah yang pertama kali memberikan tan
Sudah diketahui oleh umum, masyarakat sastra Indonesia modern, bahwa H.B Jassinlah yang pertama kali memberikan tanggapn yang positif meskipun seelumnya ada juga tanggapan, tettapi tanggapan yang negatif berupa penolakan sajak-sajak Chairil Anwar oleh redaktur Panji Pustaka. Dapat dikatakan bahwa berkat tanggapan H.B. Jassin sajak-sajak Chairil Anwar dikenal oleh masyarakat (sastra) Indonesia. Bahkan juga, Chairil Anwapi tanggapan yang negatif berupa penolakan sajak-sajak Chairil Anwar oleh redaktur Panji Pustaka. Dapat dikatakan bahwa berkat tanggapan H.B. Jassin sajak-sajak Chairil Anwar dikenal oleh masyarakat (sastra) Indonesia. Bahkan juga, Chairil Anwar tidak terpisahkan dari H.B. Jassin, atau sebaliknya. Tampaknya tanggapan atau konkretisasi H.B Jassin ini terhadap sajak-sajaak Chairil Anwar yang terpentk Chairil Anwar yang terpenting adalah kritik (esai)-nya yang berjudul “ Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45” .
Dikatakan Jassin (1962: 78) bahwa sajak-sajak Chairil memberi udara baru yang segar bagi kesusastraan Indonesia. Sajak-sajak Chairil berjiwa revolusioner (Jassin, 1962: 79), seperti kelihatan dalam sajaknya “ Cerita buat Dien Tamela”, dalamnya kedengaran suara menantang yang menyiratkan perjuangan revolusi Indonesia.
Begitulah diantara tanggapan atau resepsi H.B. Jassin yang penting terhadap sajak-sajak Chairil Anwar. Ia menaggapai kebaruan, ekspresivitas, dan pandangan dunia dalam sajak-sajak Chairil Anwar yang merupakan inovasi dari perpuisian Indonesia modern.
Tanggapan redaktur majalah Panji Pustaka adalah tanggapan negatif berdasarkan kriteria penilaian pragmatik bersifat politis-propagandis, menyatakan sajak-sajak Chiril Anwar individualistis, kebarat-baratan, tidak sesuai dengan dat ketimuran, tidak mempergunakan kiasan-kiasan berdasarkan kebiasaan sastra Indonesia lama.
Aoh (1952; 36) meresepsi sajak Chairil Anwar “ Aku” . Dikatakannya bahwa dia menamakan dirinya “binatang jalang”. Kiasan “ Tenaga Hidup” yang sangat besar. “ seribu tahun lgi ia mau hidup daripada menyerah kalah kepada masyarakat yang mengiris jiwanya, menyerangmenerjang selaras dengan kehidupan dalam dunia yang tiada tahu kehalusan budi”.
Daripada mati hidup!, begitu ulasan Aoh K. Hadimadja, itulah Chairil Anwar, itulah vitalitasnya yang tiada ada sebelumnya. Dikemukakan selanjutnya oleh Aoh (1952: 37) bahwa dari susut isi, maka Chairil Anwar tidak sedikit jasanya kepada teman-temannya serta angkatan yang mendatang. Selain itu, dikemukakan juga oleh Aoh bahwa Chairil Anwar sudah membangkitkan semangat yang tidak boleh padamkepada bangsanya”Aku” dan kebesaran “ Cerita buat Dien Tamela”
Dalam menolak pandangan Bakri Siregar yang menyamakan Chairil Anwar dengan Nietzche, Hadimadja (1952:72-73) menunjukkan bahwa Chairil Anwartidak mengingkari Tuhan ternyata dalam sajaknya “ Doa”. Bik J.E. Tatengkeng maupun Amir Hamzah kata-katanya tidak merangkum ketinggian Chairil Anwar. Dikatakannya bahwa dalam sajak pendek itu empat kali Chairil menyebut “ Tuhanku”, dan ucapan itu demikian bersihnya sehingga tergambar jelas kejernihan dada penyair, sejarah kekotorannyapun tiada. Dikemukakan Hadimadja adakah yang lebih ikhlas dari ucapan yang dikutip berikut. Ucapan yang berupa satu kejujuran, satu keterangan yang terus terang, betapa erat hubungan jadinya antara penyair dengan yang dicintainya. 
Setelah berdirinya LEKRA  yang berpaham komunisme, ada tanggapan baru terhadap sajak-sajak Chairil Anwar. Salah seorang tokohnya yang terkenal adalah Klara Akustia. Ia memberi tanggapan terhadap sajak-sajak Chairil Anwar  (Hadimadja, 1952: 87). Dikemukakannya bahwa Chairil membawa corak baru dalam kesusastraan terbatas pada bentuk atau vormnya.
Satu lagi perlu dikemukakan disisni adalah resepsi Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun 1977. Resepsinya itu dianggap sebagai wakil resepsi Pujangga Baru. Ia menanggapi sajak-sajak Chairil Anwar secara estetik maupum ekstraestetik, tetapi tanggapannya lebih cenderung pada tanggapan pragmatis.
Dikemukakannya (Alisjahbana, 1977: 139-180) dalam esainya yang berjudul  “ Penilaian Chairil Anwar Kembali” . Chairil membawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas, kepekatan, dan kelincahan yang baru kepada sastra Indonesia (1977: 175) . Karena penilaian Takdir Alisjahbana pragmatis yang menghendaki karya sastra berguna bagi pembangunan bangsa, maka sajak-sajak Chairil Anwar yang pesimistis dan berisi pemberontakan itu diumpamakan sebagai rujak asam, pedas, dan asin yang bermanfaat untuk mengeluarkan keringat, tetapi tidak dapat dijadikan sari kehidupan manusia.  


3.      Resepsi terhadap Sajak “ Sebuah Kamar”

Sajak ini menunjukkan sesuatu yang ironis dengan gaya yang ironis pula. Dalam keadaan sukar orang masih menambah kesukaran itu berarti bunuh diri. Di situ digambarkan keadaan kamar si aku yang sempit: 3x4 m, sudah dihuni tuju orang . Tentu saja itu gambaran kemiskinan sebuah keluarga. Akan tetapi, dalam sajak, berdasar konvensi puisi bahwa puisi tu bersifat universal, sesuatu yang bersifat individuali itu dapat meluaskepada yang umum. Di situ digambarkan kamar si aku yang sempit, ini menandakan kemiskinan. Si ibu tertidur masih dalam menangis; ayah yang mesti bertanggung jawab kepada keluarga, secara ironis dikemukakan hanya bisa berdoa saja. Kamar yang sempit itu rasanya seperti penjara, meskipun ramai, tetapi sepi; tidak ada hiburan, tidak ada apa-apa karena miskin. Keadaan itu sesungguhnya menggambarkan keadaan masyarakat Indonnesia atau Indonesia sendiri yang padat dengan penghuni, tetapi masih selalu bertambah lagi penduduknya. Dapat dikatakan sajak ini merupakan peringatan untuk ber-KB! Jadi, dilihat dari “isi”nya sajak ini penting untuk sekarang ini.
Jadi sajak “Sebuah Kamar “ ini secara estetis dan ekstra estetis bernilai, memenuhi kriteria dulce et utile sebagai fungsi karya sastra yang dikemukakan Horace.

13. Tanggapan Pembaca Terhadap Belenggu

Belenggu dari waktu ke waktu selalu mendapat tanggapan yang bebeda, bahkan juga pada waktu terbitnya. Tanggapan para pembaca Belenggu dari seak terbitnya (1940) hingga sekarang (1990)  sebagi uraian berikut.
            Pada waktu naskah Belenggu dikirimkan ke Balai Pustaka, naskah itu ditolak untuk diterbitkan oleh Balai Pustaka (Teuw, 1955:600. Penolakan ini disebabkan oleh sifatnya yang bertentangan dengan aturan atau syarat-syarat Balai Pustaka pada waktu itu.
            Sesudah ditolak itu, naskah Belenggu dimuat dalam majalah Pujangga Baru Th. VII. No. 10-11-12 , Tahun 1940, diterbitkan secara utuh. Setelah diterbitkan itu, Belenggu mendapat bermacam-macam tanggapan dari para pembacanya, baik yang setuju, yang dapat menerima dan memuji, maupun yang tidak setuju dan mencelanya.
            Kebaruan yang amat sangat itulah yang belumdapat dimengerti oleh para pembaca yang horizon harapannya adalah roman-roman konvensional yang terbit sebelumnya. S. Djojo poespito (1940: 143-144) sangat mengkawatirkan buku Belenggu ini. Pertama kali, dikemukakan ia tidak merasakan kehalusan dan keindahan bahasanya. Oleh karena itu, ia tidak dapat memberikan tinjauan yang cukup kepada buku ini. Dikemukakan bahwa tendenslah yang mempengaruhi buku ini. Oleh karena itu, ia merasa kurang senang, dan timbul rasa memberontak sebab seni itu bukan semata-mata demi tendens saja. Karena hendak mendesakkan tendens itu, watak tokoh-tokoh dan penokohannya serta peristiwa-peristiwanya direka-reka dan dipaksakan.
            Lebih tajam (pedas) lagi adalah kritik Soesilowati (1940: 144-146). Ia menggunakan kriteria penilaian yang mirip dengan Djojopoespito, yaitu orang tertarik membaca buku itu oleh beberapa hal, diantaranya bahasanya yang bagus, ceritanya yang bagus karena kejadian-kejadian dan tokoh-tokohnya dilukiskan dengan terang dan hidup atau pembaca dapat bertambah kekuatan batinnya jika membacanya. Karena banyak pertimbangan yang diperlukan, maka sukarlah memberi tinjauan yang seobjektifnya, katanya. Oleh karena itu ia akan memberikan tinjauan seluas-luasnya terhadap Belenggu. Dalam hal bahasa, ia berbeda dengan Djojopoespito. Dikatakan bahasa yang dipergunakan kalimatnya pendek-pendek dapat menarik pembaca meskipun mereka tidak tahu arah kemana pembaca akan tertarik. Dikatakan bahwa pengarangnya ahli bahasa Indonesia, dapat menyesuaikan bahasa itu dengan zaman baharu ini. Akan tetapi, dengan keahliannya itu pengarang tidak dapat melukiskan kejadian-kejadian atau tokoh-tokoh di dalam bukunya dengan terang.
Lebih hebat lagi adalah tanggapan Muhammad Dimyati (1940: 146-151). Ia menuduh Belenggu  itu sebagai karya sastra belariran seni untuk seni. Menurut Dimyati yang berorientasi pragmatik itu, Belenggu itu kurang bernilai sastra karena tanpa tendens dan bahasanya buruk.
            Penimbang yang lain adalah Soejono Soerjotjondro. Secara singkat ia menanggapi Belenggu. Dikatkannya bahwa dengan terbitnya buku baru (Belenggu) itu pasti ada yang setuju ada yang tidak. Ia senang akan terbitnya buku itu meskipun belum puas. Dikemukakan bahwa apa yang terdapat dalam buku itu merupakan kejadian-kejadian di sekitar perjalanan pengarang, tidak dicari-cari. Jadi, tampak nahwa Soejono mengkritik secara ekspresif bahwa karya sastra itu luapan perasaan dan pikiran pengarang, di samping itu, secara mimetik nilai buku itu berharga karena sesuai dengan kenyataan masyarakat di sekitar pengarng.
            Seorang penanggap lagi yang tegas-tegas berorientasi pragmatik adlah Sutan Takdir Alisjahbana, ia menanggapi Belenggu dengan gencar. Menurut Takdir yang menarik dalam Belenggu ialah permaina perasaan pengarang yang memberikan suatu suasana romantik kepada buku ini. Akan tetapi, romantik itu ialah romantik yang gelap gulita, yang pesimistis oleh batas-batasnya sudah ditetapkan oleh berbagai belenggu yang di mana-mana hendak dikemukakan pengarang.
            Seorang pembaca yang menanggapi Belenggu dengan sikap yang moderat adalah S. Danilah. Dia mengemukakan bahwa Belenggu itu menarik hati karena mengemukakan masalah “soal yang hidup” , keadaan yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat Indonesia dan karangan itu masuk akal. Oleh karena itu, Belenggu merupakan buku yang sungguh berharga. Cara melukiskan sifat tokoh-tokoh dalam cerita itu sungguh tepat benar hingga hidup di depan mata pembaca.
            Akan tetapi, ada cacatnya juga. Yang mengecewakan adalah sikap tokoh-tokoh utama Tono, Tini, dan Yah yang tampak bertentangan dengan sifat mereka masing-masing.
            Meskipun masih dalam kurun waktu yang sama, tetapi karena perbedaan horizon harapan pembaca, maka pada waktu terbitnya Belenggu itu terdapat perbedaan tanggapan terhadapnya. Yang berikut adalah tanggapan para pembaca yang menanggapi Belenggu secara positif. Mereka adalah M.R. Dajoh, Karim Halim, L.K Bohang, dan H.B. Jassin. S. Danilah dapat juga dimasukkan pembaca yang menanggapi Belenggu secara positif.  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar