RINGKASAN BUKU
BEBERAPA TEORI SASTRA, METODE KRITIK, DAN PENERAPANNYA
Penulis
Prof.
Dr. Rachmat Djoko Pradopo
Dosen Pengampu: Maharani Intan Andalas
Bayu Aji Nugroho
Nama : Sumiyati
NIM :
2101413106
Rombel : 04
Prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia
Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia
Fakultas Bahasa dan Seni
Universitas Negeri Semarang
2013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................................................... 1
DAFTAR ISI................................................................................................................................ 2
1. MASALAH ANGKATAN DAN PENULISAN
SEJARAH SASTRA................................. 4
1. Masalah Angkatan................................................................................................................. 4
2. Penulisan Sejarah Sastra Indonesia....................................................................................... 4
3. Metode Estetika Resepsi dalam Penulisan
Sejarah Sastra.................................................... 5
4. Metode Perunutan Perkembangan Karya
Sastra................................................................... 5
5.
Periode Sastra Indonesia....................................................................................................... 5
2. SEJARAH PUISI INDONESIA
MODERN: SEBUAH IKHTISAR.................................... 7
1. Periodesasi Puisi Indonesia Modern..................................................................................... 7
2. Antalogi Puisi Indonesia Moden........................................................................................... 7
3. PERKEMBANGAN YANG
DIALEKTIS DALAM KESUSASTRAAN INDONESIA
MODERN 8
4. PUSAT PENGISAHAN
METODE ORANG PERTAMA DAN PERKEMBANGANNYA DALAM ROMAN DAN NOVEL INDONESIA MODERN.................................................................................... 10
1. Pengertian Pusat Pengisahan dan
Metode-metodenya......................................................... 10
5. KRIRIK SASTRA INDONESIA MODERN DAN PERMASALAHANNYA.................... 11
1. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra.................................................................................................. 11
2. Kritik Sastra Akademik dan Kritik Sastra
Sastrawan........................................................... 11
6. KONKRETISASI SASTRA.................................................................................................... 12
1. Analisi Struktural dan Semiotik sebagai
Usaha Pemberian Makna Karya Sastra................. 12
2. Intertekstualitas sebagai Sarana
Pemberian Makna.............................................................. 12
3. Pemberian Makna Berdasar Relevansi Latar
Sosial-Budaya................................................ 12
4. Pengarang/Penulis sebagai Pemberi Makna
Sastra................................................................ 12
5. Pembaca sebagai Pemberi Makna Sastra............................................................................... 12
7. PENELITIAN SASTRA
DENGAN PENDEKATAN SEMIOTIK....................................... 13
1. Pengertian Semiotik.............................................................................................................. 13
2. Tanda: Penanda atau Petanda............................................................................................... 13
3. Bahasa dan Sastra (Kesusastraan)......................................................................................... 13
4. Metode Semiotik dalam Penelitian....................................................................................... 13
5. Pembacaan Semiotik: Heuristik dan
Hermeneutik atau Retrokatif...................................... 13
8. ANALISIS PUISI SECARA
STRUKTURAL DAN SEMIOTIK......................................... 14
1. Amalisis Struktural dan Semiotik.......................................................................................... 14
2. Ketidaklangsungan Ekspresi Puisi........................................................................................ 14
3. Hubungan Intertekstual........................................................................................................ 14
9. HUBUNGAN
INTERTEKSTUAL DALAM SASTRA INDONESIA................................. 15
1. Orientasi Sastra..................................................................................................................... 15
2. Hubungan Intertekstual........................................................................................................ 15
3. Hubungan Intertekstual Karya Sastra
Prosa Indonesia........................................................ 15
4. Hubungan Intertekstual dalam Puisi
Indonesia Modern...................................................... 15
10.HUBUNGAN
INTERTEKSTUAL ROMAN-ROMAN BALAI PUSTAKA DAN PUJANGGA BARU 16
1. Hubungan Intertekstual Roman-roman Balai
Pustaka.......................................................... 16
2.Hubungan Intertekstual antara Siti
Nurbaya, Layar Terkembang, dan Belenggu................. 16
11. ESTETIKA RESEPSI DAN
TEORI PENERAPANNYA.................................................... 16
1. Pengertian ............................................................................................................................ 18
2. Dasar-Dasar Teori Estetika Resepsi...................................................................................... 18
12. TINJAUAN RESEPSI
SASTRA BEBERAPA SAJAK CHAIRIL ANWAR...................... 19
1. Kerangka Teori dan Metode Estetika
Resepsi...................................................................... 19
2. Resepsi terhadap Beberapa Sajak Chairil
Anwar.................................................................. 19
3. Resepsi terhadap Sajak “ Sebuah Kamar”............................................................................ 20
13. TANGGAPAN PEMBACA
TERHADAP BELENGGU..................................................... 21
1.
Masalah Angkatan dan Penulisan
Sejarah Sastra Indonesia
1. Masalah Angkatan
Sejarah sastra merupakan salah satu cabang studi
sastra yang oleh Rene Wellek (1968: 39) di pecah menjadi tiga:
·
teori sastra
·
kritik sastra
·
dan sejarah sastra
Teori sastra adalah studi sastra yang berhubungan
dengan karya sastra yang konkret, sedang sejarah sastra adalah studi sastra
yang membicarakan perkembangan saastra sejak lahirnya sampai perkembangannya
yang terakhir ( pradopo, 1967: 9; Wellek, 1968: 255).Begitu jugalah sejarah
sastra Indonesia.
Sastra (kesusastraan) suatu bangsa dari waktu ke
waktu selalu mengalami perkembangan, begitu juga halnya kesusastraan indonesia.
Angkatan sastra tak lain adalah sekumpulan sastrawan yang hidup dalam satu
kurun masa atau menempati suatu periode tertentu. Karena mereka hidup dalam
kurun masa yang sama atau periode tertentu itu, tentulah ada saling pengaruh hingga
mereka mempunyai ide, gagasan, atau semangat yang sama atau setidak-tidaknya
ada kemiripannya.
Ciri-ciri intrinsik karya sastra yang menjadi
dasar penentuan adanya sebuah angkatan, berupa ciri-ciri yang terdapat dalam
karya sastra secara konkret.Ciri-ciri tersebut meliputi jenis sastranya
(genre), pikiran, perasaan, gaya bahasa, gaya penceritaan, dan struktur karya
sastra yang meliputi struktur penceritaan (alur), penokohan, latar, begitu juga
sarana-sarana sastranya (literary devices) seperti pusat pengisahan, simbol,
humor, pembayangan, suspense, dan sebagainya.Ciri-ciri tersebut yang terdapat
dalam cerita rekaan, sedang ciri-ciri dalam karya puisi meliputi: gaya bahasa,
gaya sajak, pilihan kata, bahasa kiasan, citraan, sarana retorik, irama dan tak
boleh dikesampingan juga ide, gagasan perasaan, tema da sebagainya. Bila dalam
sekumpulan karya sastra yang terbit dalam suatu periode atau suatu kurun masa
menunjukkan persamaan ciri-ciri intrinsik baik secara keseluruhan maupun
sebagai ciri yang penting, maka dapatlah dikatakan bahwa ada (sudah ada) sebuah
angkatan sastra yang hadir atau lahir.
2.
Penulisan Sejarah Sastra
Indonesia
Penulisan sejarah sastra Indonesia dimulai dengan
lahirnya, dan sebab-sebab lahirnya kesusastraan Indonesia tersebut.
Penulisan sejarah sastra Indonesia sesungguhnya
dapat dilakukan dengan dua cara. Yang pertama, dengan cara teori estetik
resepsi atau estetika tanggapan. Yang kedua, dengan cara teori penyusunan
rangkaian perkembangan sastra dari periode ke periode atau dari angkatan ke
angkatan.
Di samping itu, penulisan sejarah sastra Indonesia
juga dapat dilakukan secara sinkronis dan diakronis.Secara sinkronis ialah
membicarakan (menulis) sejarah sastra dalam salah satu tingkat perkembangannya
atau salah satu periodenya, misalnya periode Angkatan 45 atau periode angkatan
Pujangga Baru.Secara diakronis membicarakan (menulis) sejarah sastra dalam
berbagai tingkat perkembangannya, dari sejak lahir hingga perkembangannya yang
terakhir.
Begitu juga, penulisan sjarah sastra Indonesia
dapat dilakukan dari sudut tinjauan perkembangan jenis-jenis sastranya
(genres), baik prosa maupun puisi. Misalnya saja sejarah novel Indonesia, atau
perkembangan puisi Indonesia modern, bahan dapat di tulis sejarah perkembangan
alur dalam cerkan sastra Indonesia, perkembangan diksi dan gaya bahasa puisi
Indonesia, dan sebagainya.
3.
Metode Estetika Resepsi
dalam Penulisan Sejarah Sastra
Dalam penulisan sejarah sastra brdasarkan teori estetika resepsi ini,
diteliti tanggapan-tanggapan pembaca, konsep-konsep tentang sastra, norma-norma
sastra, yang semuanya itu menentukan penilaiannya terhadap sebuah karya sastra
atau karya-karya sastra pada umumnya. Para pembaca yang dimaksudkan dalam
hubungan ini ialah para pembaca yang ahli, yang dapat dianggap sebagai wakil
dari tiap-tiap peiode. Para pembaca ahli ini dikemukakan oleh vodika (1964: 78)
adalah para ahli sejarah sastra, ahli estetika, dan para kritikus sastra.
Dalam kesusastraan Indonesia, karya-karya sastra dari sejak Balai Pustaka
sampai sekarang selalu mendapat tanggapan pembaca. Tanggapan pembaca selalu
berubah. Hal ini di sebabkan seperti di atas, oleh perbedaan cakrawala harapan
yang ditentukan oleh konsep-konsep sastra setiap periode.
Jadi, menurut teori estetika resepsi ini, sejarah sastra itu adalah sejarah
karya sastra dari periode ke periode atau sejarah resepsi sastra dari periode
ke periode.
4.
Metode Perunutan
Perkembngan Karya Sastra
Metode penyusunan sejarah sastra yang kedua adalah
perunutan perkembangan karya sastra yang disusun dalam kelompok-kelompok besar
atau kecil, sesuai dengan kepengarangan atau jenis-jenis sastra (genre),
tipe-tipe gaya, atau tradisi kebahasaan (Wellek, 1968: 255)
Penyusunan sejarah sastra bukanlah hanya
penderetan pembicaraan karya-karya sastra yang terbit sewaktu disusun secara
kronologis atau berdasarkan urutan waktu terbitnya semata-mata. Penyusunan
sejarah sastra harus sekaligus bersifat sejarah dan sastra ( Wellek, 1968:
252), dalam arti harus berdasar urutan waktu dan perkembangan ciri-ciri
intrinsik sastranya.
Dalam menyusun sejarah sastra itu diperlukan
bantuan kritik sastra, diperlukn prinsip-prinsip kritik sastra, untuk
menentukan karya sastra bernilai ( sastra ) atau tidaak, menunjukkan
perkembangan nilai dan ciri-cirinya atau tidak.
5.
Periode Sastra Indonesia
Sampai sekarang para tokoh sastra Idonesia yang
membuat periodesasi diantaranya H. B Jassin, Boejoeng Saleh, Nugroho Noto
Susanto, Bakri Siregar, dan Ajip Rosidi. Pada umumnya periodesasi mereka
menunjukkan persamaan pada garis besarnya. Namun ada perbedaan kecil-kecilan
juga, yaitu mengenai batas-batas waktu setiap periode dan penekanan
ciri-cirinya, maka gambaran sesungguhnya periode-periode sejarah sastra
Indonesia bertumpang tindih sebagi berikut.
1.
Periode Balai Pustaka : 1920-1940
2.
Periode Pujangga Baru: 1930-1945
3.
Periode Angkataan 45: 1940-1955
4.
Periode Angkatan 50: 1950-1970
5.
Periode Angkatan
70: 1965-Sekarang (1984)
a.
Periode Balai Pustaka:
1920-1940
Jenis sastra periode ini terutama adalah roman, ada juga cerita pendek,
tetapi sedikit, baru ditulis sebagai pernyataan seni pada akhir periode ini,
seperti yang terkumpul dalam buku Hamka Di
Dalam Lembah Kehidupan (1940).
b.
Periode Pujangga Baru :
1930-1945
Pada periode ini jenis
sastra puisi sangat dominan, disamping itu cerita pendek mulai banyak ditulis,
begitu juga drama.
Pada umumnya karya
sastra beraliran romantik, baik prosa ataupun puisinya. Lebih-lebih hal ini
disebabkan oleh pengaruh sastra romantik Negeri Belanda Gerakan 80.
c.
Periode Angkatan 45 :
1940-1955
Pada periode ini
berkembang jenis-jenis sastra puisi, cerita pendek, novel, dan drama, lebih-lebih
puisi dan cerita pendek meluas. Pada periode ini keadaan perang mempengaruhi
penciptaan sastra dalam permasalahan dan gayanya.
Sastrawan-sastrawan yang
menonjol dalam periode ini di antaranya Chairil Anwar, Asrul Sani, Rivai Apin,
Idrus, Ahdiat K. Miharja, Pramudya Ananta Toer, Sitor Situ morang, Mochtar
Lubis, dan Usmar Ismail.
d.
Periode Angkatan 50:
1950-1970
Sesungguhnya, secara
intrinsik ciri-ciri sastra, terutama struktur estetiknya, Angkatan 45 dan
angkatan 50 sukar dibedakan sebab gaya Angkatan 45 dapat dikatakan diteruskan
oleh Angkatan 50. Hanya saja, dengan adanya pergantian situasi suasana tanah
air dari perang ke perdamaian, dari masa transisi panjajahan ke kemerdekaan,
maka para sastrawan mulai memikirkan masalah-masalah kemasyarakatan yang baru
dalam suasana kemerdekaan.
e.
Periode Angkatan 70:
1965-sampai sekarang (1984)
Dalam periode ini berkembang
apa yang disebut sastra pop, novel-novel pop, yang secara literer tidak
menunjukkan adanya perkembangan sastra sebab boleh dikatakan bercorak
konvensional dan stereo-type.
2. Sejarah Puisi Indonesia Modern: Sebuah Ikhtisar
Sejarah sastra adalah studi sastra yang membicarakan perkembangan sastra
dari lahirnya sampai pada perkembangannya yang terakhir ( Pradopo, 1988:
Wellek, 1968: 25)
Sejak lahirnya (1920) sampai sekarang (1990), kesusastraan Indonesia modern
selalu berkembang. Dengan demikian, hal ini memuat adanya persambungan sejarah
sastra Indonesia, baik dalam rangka prosa maupun puisi. Sampai sekarang, yang
merupakan sajak Indonesia modern yang pertama adalah sajak “Tanah Air” yang
ditulis oleh M. Jamin (Muhammad Yamin), terdapat dalam Jong Sumatra No. 4, Tahun lll, April 1920. Sebuah karya sastra itu
sesungguhnya merupakan response terhadap karya sebelumnya.
Di pandang dari hal tersebut itu, sajak Muhammad Yamin merupakan response
terhadap sajak-sajak yang telah ada, baik berupa penentangan ataupun
penyimpangan terhadap norma-norma puisi seelumnya.
1.
Periodesasi Puisi
Indonesia Modern
Pembabakan waktu Puisi Indonesia modern dapat disusun
seagai berikut.
1.
a. Periode Pra-Pujangga Baru: 1920-1933
b. Periode Pujangga Baru: 1933-1942
2. Periode Angkatan 45:
1942-1955
3. Periode 50-60-an:
1955-1970; dan
2.
Antalogi Puisi Indonesia
Modern
Sampai sekarang ada beberapa antologi sastra. Dapat dikatakan H. B
Jassinlah yang pertam kali menyusun antalogi alias bunga rampai sastra yang
terbanyak. Akan tetapi, pastilah Sutan Takdir Ali Syahbana yang pertama kali
menyusun antalogi puisi seperti tampak
pada: puisi baru yang merupakan antalogi
puisi pujangga baru. Pertama kali H.B Jassin menyusun antalogi sastra Angkatan
45: kesusastraan di Masa Jepang dan Gema
Tanah Air. Kemudian menyusun antalog sastra pujangga baru berjudul Pujangga Baru: Prosa dan Puisi, sesudah
itu menyusun antalogi sastra periode 1955-1970: Angkatan 66: prosa dan puisi.Ajip Rosidi pun menyusun antalogi
sastra periode 1955-1970: Laut Biru Langit Biru (1977). Penyusun antalogi
khusus puisi adalah Linus Suryadi Ag,: Tugu
(1986), khusus penyair-penyair (32 penyair) Yogyakarta dan empat jilid
penyair Indonesia modern sejak 1920 sampai dengan 1987 berjudul Tonggak I, II, III,IV. Antalogi sajak
ini disusun menurut tahun kelahiran para penyairnya, tidak berdasarkan periode
atau angkatannya. Dengan demikian, Subagio Sastrowardojo yang lahir dua tahun
sesudah Chairil Anwar(1922), tahun 1924, sajak-sajaknya terdapat dalam Tonggak
I sejilid dengan sajak Chairil Anwar meskipun ia dapat digolongkan penyair
periode 1955-1970 dan masih tetap menulis sajak hingga sekarang.
3.
Perkembangan yang Dialektis dalam
Kesusastraan Indonesia Modern
( Dialektif
Kedaerahan-Nasional-Internasional-Kedaerahan)
Kesusastraan Indonesia modern merupakan respon atau tanggapan terhadap
kesusastraan Indonesia lama yang merupakan kesusastraan daerah-daerah atau
sastra Nusantara. Selain bentuk baru dalam karya sastra Indonesia modern awal,
yaitu sastra Balai Pustaka dan Pujangga Baru, sebelum Perang Dunia II bentuk
baru itu berupa puisi lirik yang lain dari bentuk pantun dan syair, menyimpangi
konvensi bentuk syair dan pantun, dan isinya berupa pernyataan pribadi penyair
yang dalam puisi lama belum ada (Teeuw, 1955: 72). Puisi baru dan puisi lama
itu seperti berikut kalau dijajarkan.
Syair
SYAIR
BURUNG PUNGGUK
Pertama
mula pungguk merindu,
Berbunyilah
guruh mendayu-dayu
Hatinya
rawan bercampur pilu,
Seperti
diiris dengan sembilu.
..................
Pantun
Kalau
tuan pergi ke Tanjung
Kirim sahaya
sehelai baju.
Kalau tuan menjadi
burung,
Sahaya menjadi
ranting kayu.
..................
Akan tetapi, pada akhir
sastra Balai Pustaka dan Pujangga Baru itu, mulai tampak pula unsur kedaerahan
yang mulai masuk kedalam sastra nasional, entah disadari atau tidak. Unsur
kedaerahan itu berupa latar sosil-budaya daerah, selain latar sosial-budaya
daerah Minangkabau, adalah latar sosial-budaya daerah Bali dan Jawa.
Pada masa angkatan 45,
dalam drama terbit buku Rustandi Kartakusuma berjudul Prabu dan Putri (1950)
yang menampilkan unsur sastra daerah, latar sosial-budaya daerah Sunda.
Penggalian unsur-unsur sastra-budaya daerah ini menjadi lebih “gencar” dan
berkembang lagi sesudah pertengahan tahun 1950-an dengan masuknya puisi balada
dalam sastra Indonesia modern.
Kalau dilihat dari awal
sastra Indonesia modern, tampaklah bahwa unsur sastra daerah direspons oleh
sastra internasional, kemudian unsur sastra internasional itu direspons unsur
latar sosial-budaya daerah, termasuk unsur sastra derah, kemudian masuk lagi
arus unsur sastra internasional, tetapi sekaligus disertai tampilnya latar
sosial-budaya daerah yang makin gencar. Hal demikian ini berlangsung terus
sampai sekarang.
Pada tahun 1970-an,
lebih-lebih unsur sastra daerah yang berupa puisi mantra lebih dieksploitasi
oleh para penyair Indonesia. Salah satu sajak bergaya mantra sebagai contoh
berikut.
BANDANDID
Maka adalah pasir
Maka adalah batu
Adalah bayang
Adalah air
Dan ini dan itu dan
engkau dan aku: DANDANDID
Dalam prosa pun tampak
latar sosial-budaya daerah ( Nusantara) menjadi menonjol dalam sastra Indonesia
modern periode 1970-1990, yang tampak ditampilkan secara sadar.
Pada tahun 1970-an dan
1980-a, unsur sastra universal dan unsur-unsur sosial –budaya daerah (Nusantara
) secara “serentak” msuk dalam sastra nasional Indonesia modern. Semuanya itu
membuat sintese wujud sastra Indonesia modern berunsur daerah-nasional-dan
universa, yang semuanya saling bertentangan ataupun terpadu. Semuanya itu menunjukkan wujud tranformasi budaya
universal-daerah kedalam sastra nasional Indonesia modern.
Dalam tahun 1980-an selama
satu dekade, karya-karya sastra yang menampilkan latar sosial-budaya daerah
makin berkembang.
4.
Pusat Pengisahan Metode Orang
Pertama dan Perkembangannya dalam Roman dan Novel Indonesia Modern
1.
Pengertian Pusat
Pengisahan dan Metode-metodenya
Ada bermacam-macam cara pengisahan cerita. Pusat
pengisahan ini merupakan cara bercerita dari titik pandang mana atau siapa
cerita itu dikisahkan. Pusat pengisahan menerangkan “siapa yaang bercerita”
(Saad, 1967: 125).
Ada beberapa sudut pandang dalam mengisahkan
cerita sebagai berikut. Cara bercerita dari mcam-macam sudut pandang ini oleh
Wellek dan Werren (1976: 222-223) disebut metode sudut pandang.Pencerita atau
narator dapat menngisahkan cerita orang lain sebagai orng ketiga atau dengan
metode orang ketiga (metode dia, mereka). Dapat juga narator menceritakan
kisahnya sendiri; pusat pengisahan ini disebutmetode orang pertama ( metode aku
ata
ich-erzahlung).
Metode orang ketiga tidak hanya semacam. Wellek
dan Warren (1976:223) membagi menjadi dua, pertama metode objektif dan kedua,
metode romantik-ironik.
Metode orang pertamapun ada dua macam, yaitu
pertama, metode orang pertama sertaan, disini narator menceritakan pengalaman
atau ceritanya sendiri, si pencerita menyebut tokoh utama sebagai aku. Jadi,
disitu narator ber-aku mengisahkan dirinya sendiri. Yang kedua, dalam metode aku tak sertaan narator sebagai
aku menceritakan atau menyaksikan tokoh utama, baik tokoh utama beraku atau
diceritakan sebagai dia atau mereka. Jadi, di sini aku tak sertaan itu sebagai
“saksi” terhadap cerita orang lain yang menjadi tokoh utama cerita yang
dikisahkan.
Roman dan novel yang menjadi sampel dalam tulisan
ini adalah Di Bawah Lindungan Kaabah,
Atheis, Gairah untuk Hidup dan untuk Mati, Pada Sebuah Kapal, Raumanen,
Burung-burung manyar, Olenka, dan Para Priyayi. Dari sampel-sampel tersebut
terjadi persambungan dalam sejarah sastra Indonesia modern, akan lebih
mengertilah pembaca bila menghubungkan karya sastra yang satu dengan yang
lainnya, karya sastra sebelumnya dan sesudahnya.
5.
Kritik Sastra Indonesia Modern
dan Permasalahannya
1.
Prinsip-prinsip Kritik
Sastra
Kritik sastra merupakn studi sastra yang langsung berhadapan dengan karya
sastra, secara langsung membicarakan karya sastra dengan penekanan pada
penilaiannnya (Wellek, 1978: 35). Hal ini sesuai dengan pengertian kritik
sastra Indonesia modern juga, seperti dikemukakan oleh H. B Jassin (1959:
44-45), yaitu kritik sastra itu merupakan pertimbangan baik buruk karya sastra,
penerangan dan penghakiman karya sastra.
Untuk mengenal permasalahan kritik sastra lebih lanjut perlu dikemukakan
guna kritik sastra dapatdi golongkan menjadi tiga (Pradopo, 1988: 17), yaiu,
pertama untuk perkembangan ilmu sastra sendiri, kedua, untuk perkembangan
kesusastraan, dan ketiga untuk penerangan masyarakat pada umumny yang
menginginkan penerangan tentang karya saastra.
Aspek-aspek pokok kritik sastra adalah analisis, interpretasi ( penafsiran
), dan evaluasi atau penilaian.
Untuk menganalisis, menafsir, dan menilai karya sastra adalah orientasi
karya sastra yang menentukan arah atau corak kritik sastra. Orientasi karya
sastra itu secara kesuruhan situasi karya sastra: alam (kehidupan), pembaca,
penulis,dan karya sastra.
2.
Kritik Sastra Akademik
dan Kritik Sastra Sastrawan
Corak kritik akademik ini berbeda dengan kritik
sastrawan sebelumnya. Kritik sastranya berupa penelitian ilmiah terhadap karya
sastra dengan metode ilmiah. Ciri-ciriny ialah pembicaraan yang sampai kepada
hal-hal yang berkecil-kecil, ada analisis yang merenik, disusun dalam susunan
yang sistematik, segala (sebagian besar) unsur karya sastra disoroti, ada
pertanggingjawaban ilmiah dengan penyebutan data yang akurat, pernyataan di
sertai argumentasi dan pembuktian, menggunakan sandaran pandangan atau pendapat
para ahli sastra yang berhubungan untuk memperkuat pernyataan atau
agumentasinya, mempergunakan metode ilmiah baik metode deduktif maupun
induktif, bahkan juga dipergunakan metode statistik dan tabel, dan mempergunkan
teknik penulisan yang lain.
Timbulnya kritik ilmiah ini segera menimbulkan
reaksi para sastrawan. Meskipun ada reaksi dari para sastrawan, kritik akademik
terus berjalan, terus ditulis oleh para kritikus akademik, terutama untuk
penulisan skripsi, penelitian sastraa ilmiah, makalah, dan disertasi. Dengan
makin bnyaknya diterbitkan kritik sastra ilmiah berupa buku (seri kritik
sastra), pada tahun 1960-an timnul reaksi baru dari para sastrawan diantaranya
yang tampil kedepan adalah Goeawan Mohamad dan Soe Hok Djin (Arief Budiman). Mereka memberi ciri kritik akademik
sebagai kritik anlitik.
6.
Konkretisasi Sastra
Konkretisassi adalah pemberian makana. Dengan
konkretisasi itu, maka sastra yang sebelumnya tidak itu dikonkretkan hingga
dapt dipahami.
1.
Analisis Struktural dan
Semiotik sebagai Usaha Pemberian Makna Karya Sastra
Karya sastra adalah sebuah struktur yang kompleks.
Oleh karena itu, unuk dapat memahaminya haruslah karya sastra dianalisis.
Anlisis strutural tidak dapt dipisahkan dengan
analisis semiotik. Hal ini mengingat bahwa karya sastra itu merupakan struktur
(sistem) tanda-tanda yang bermakna. Tanda-tanda tersebut mempunyai makna sesuai
dengan konvensi ketandaan. Karya sastra merupakan tingkat pertama. Studi semiotik sastra adalah
usaha untuk menganalisis sebuah sistem tanda-tanda dan karena itu, menentukan
konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya sastra mempunyai arti (Preminger,
1974: 981).
2.
Intertekstualitas
sebagai Sarana Pemberian Makna
Sebuah karya sastra baru mempunyai makna penuh
dalam hubungannya atau pertentangannya dengan karya sastra lain. Misalnya dalam
hal masalah emansipasi roman Belenggu
mendapat makna hakikinya bila dikontraskan dengan layar terkembang yang menjadi hipogramnya.
3.
Pemberian Makna Berdasar
Relevansi Latar Sosial-Budaya
Untuk memahami dan memberi makna kepada karya
sastra, latar sosial-budaya ini harus diperhtikan. Misalnya saja bila pembaca
(kritikus) hendak memahmi ( memberikan makna ) novel Upacara Karya Konei Layun Rampan, maka diharapkan orang dapat
memahami latar masyarakat dan udaya Dayak. Begitu juga, bila orang hendak
memahami dan memberi makna Pengakuan
Pariyem prosa liris Linus Suryadi Ag, maka haruslah diketahui konsep hidup
orang jawa dan kebudayaannya.
4.
Pengarang/Penulis
sebagai Pemberi Makna Sastra
Karya sastra tidak lepas dari penulisnya. Penulis
atau pengarang memberikan intensinya dalam karyanya. Karya sastra merupakn
laupn atu penjelmaan perasaan, pikiran, dan pengalaman (dalam arti luas)
pengarangnya. Oleh karena itu, faktor pengarang tidak dapat diabaikan meskipun
tidak harus dimutlakkan.
Pikiran-pikiran atau gagasan-gagasan pengarang
tentang seni sastra pada umumnya sangat bermanfaat untuk mempermudah
penangkapan makna karya sastranya.
5.
Pembaca sebagi Pemberi
Makna Sastra
Karya sastra tidak akan mempunyai makna bila tidak
di beri makna oleh pembaca, maka sesungguhnya pembaca (termasuk kritikus dan
ahli sastra) mempunyai peranan yang sangat penting dalam konkretisasi.
7.Penelitian Sastra dengan Pendekatan Semiotik
1.
Pengertian Semiotik
Semiotik adalah ilmu tentang
tanda-tanda. Ilmu menganggap bahwa fenomena sosial/masyarakat dan kebudayaan
itu erupakan tanda-taanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem,
aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut
mepunyai arti.
2.
Tanda: Penanda dan
Petanda
Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda(signifer)
dan petanda (signifzed). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu
yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang di tandai oleh
penanda itu yaitu artinya. Contohnya kata “ibu” merupakan tanda berupa satuan
bunyi yang menandai arti:’orang yang melahirkan kita’.
3.
Bahasa dan Sastra
(Kesusastraan)
Sastra (karya sastra) merupakan karya seni yang
mempergunakan bahasa sebagai mediumnya.
Dalam karya sastra, arti bahasa di tentukan oleh
konvensi sastra atau disesuaikan dengan konvensi sastra. Jadi, dalam sastra
arti baasa ditingkatkan menjadi arti sastra atau makna meskipun tidak lepas
sama sekali dari arti bahasanya. Dalam sastra, arti bahasa itu mendapat arti
tambahan atau konotasinya. Lebih-lebih dalam puisi, konvensi sastra itu sangat
jelas memberi arti tambahan kepada arti bahasanya.
4.
Metode Semiotik dan
Penelitian
Dikemukakan Preminger dkk (1974: 981) bahwa
penerangan, aemiotik itu memandang objek-objek atau laku-laku sebagai parole
(laku tuturan) dari suatu langue
(bahasa: sistem linguistik) yang mendasari “tata bahasanya” harus dianalisis.
Dikatakan selanjutnya oleh Preminger bahwa studi
semiotik sastra adalah usaha untuk menganalisis sistem tanda-tanda. Oleh karena
itu, peneliti harus menentukan konvensi-konvensi apa yang memungkinkan karya
sastra mempunyai makna.
5.
Pembacaan Semiotik: Heuristik dan Hermeneuitik atau Retrokatif
Untuk dapat memberi makna sajak secara semiotik, pertama kali dapat
dilakukan dengan pembacaan heuristik dan hermeneutik atau retroaktif.
Pembacaan heruistik adalah pembacaan berdasarkan struktur bahasanya atau
seara semiotik adalah berdasarkan konvensi sistem semiotik tingkat
pertama.Pembacaan Hermeneutik adalah pembacaan karya sastra berdasarkan sistem
semiotik tingkat kedu atau berdasarkan konvensi sastranya. Pembcaan hermeneutik
adalah pembacaan ulang (retroaktif) sesudah pembacaan heuristik dengan memberi
konvensi sastranya.
8.Analisis Puisi Secara Struktural dan Semiotik
Teori struktural dan semiotik merupakan teori kritik sastra obektif.
Dikemukakan Abrams bahwa ada empat pendekatan terhadap karya sastra, yaitu
pendekatan.
1.
Mimetik: menganggap karya sastra sebagai tiruan alam
(kehidupan)
2.
Pendekatan pragmatik: menganggap karya sastra itu adalah
alat untuk mencapai tujuan tertentu
3.
Pendekatan ekspresif: menganggap karya sastra sebagai ekspresi
perasaan, pikiran, dan pengalaman penyair(sastrawan)
4.
Pendekatan objektif: menganggap karya sastra sebagai
sesuatu yang otonom,terlepas dari alam sekitarnya, pembaca, dan pengarang.
1.
Analisis Struktural dan
Semiotik
Untuk menganalisis struktur sistem tanda ini perlu
adanya kritik struktural untuk memahami makna-makna tanda yang terjalin dalam
sistem (struktur) tersebut. Oleh karena itu, analisis semiotk itu tak dapat
dipisahkan oleh analisis struktural.
2.
Ketidaklangsungan
Ekspresi Puisi
Ketidaklangsugan pernyataan puisi itu menurut Riffaterre (1978: 2)
disebabkan oleh tiga hal: peggantian
arti (displacing), penyimpangan arti (distorting), dan penciptaan arti
(creating of meaning).
3.
Hubungan Intertekstual
Dalam kesusastraan Indonesia, hubungan itertekstualitas
antara suatu karya sastra dengan karya sastra lain, baik antara kaya sezaman
ataupun zaman sebelumnyabanyak terjadi. Misalnya dapat kita lihat antara
karya-karya Pujangga Baru dengan Angkatan 45, ataupun dengan karya lainnya.
Maka untuk memahami dan mendapatkan makna penuh
sebuah sajak perlu dilihat hubungan intertekstualitas ini. Misalnya saja
beberapa sajak Chairil Anwar mempunyai hubungan intertekstul dengan sajak-sajk
Amir Hamzah. Hubungan intetekstual itu menunjukkan adanya persamaan dan
pertentangan dalam hal konsep estetik dan pandangan hidup yang berlawanan.
9. Hubungan
Intertekstual dalam Sastra Indonesia
1.
Orientasi Sastra
Dalam bidang kritik sastra ada bermacam-macam
orientasi atau pendekatan terhadap karya sastra.Abrams mengemukakan bahwa
bermacam-macam penekatan itu dapat disimpulkan menjadi empat tipe berdasarkan
keseluruhan situasi karya sastra: alam, pembaca, pengarang dan karya sastra,
yaitu pendekatan mimetik, ekspresif, pragmatik,dan objektif. Keempat pendekatan
tersebut sepanjang sejarahnya telah mengalami pendebatan-pendebatan dan
dialektika yang tidak ada henti-hentinya hingga sekarang.
2.
Hubungan Intertekstual
Dalam menganalisis karya sastra, kritikus secara
aktif memberi makna kepada unsur-unsur karya sastra dan keseluruhan karya
sastra.
Untuk
mendapatkan makna sepenuhnya itu dalam menganalisis tidak boleh dilepaskan
karya sastra dari konteks sejarah dan konteks sosial-budayanya dalam hubungan
pembicaraan intertekstualitas ini bserkenaan dengan konteks sejarah sastranya.
3.
Hubungan Intertekstual
Karya Sastra Prosa Indonesia
Hubungan intertekstual dalam karya sastra prosa
Indonesia modern, misalnya dapat dilihat antara Di Bawah Lindungan Kaabah (DLK) karya Hamka dengan Atheis karya Achdiat Kartamihardja dan Gairah Untuk Hidup dan untuk Mati karya
Nasijah Djamin (GHM), Bahkan juga burung-burung
manyar karya Y.B Mangunwijaya. Di
Bawah Lidungan Kaabah merupakan hipogram karya-karya yang kemudian itu,
kecuali Burung-Burung Manyar yang
berhipogram Atheis.
Tampak adanya hubungaan intertekstual antara DLK,
Atheis, dan GHM terutama mengenai struktur cerita (alur) dan pusat
pengisahannya di samping masing-masing mempunyai kekhasannya sendiri-sendiri.
Ketiganya (DLK, Atheis, GHM) berstruktur terdiri
dari tiga bagian, beralur sorot balik, berpusat pengisahan metode orang ketiga.
4.
Hubungan Intertekstual
dalam Puisi Indonesia Modern
Intertekstualitas puisi sastra Indonesia modern
dapat dilihat misalnya antara sajak-sajak Amir Hamzah dengan Sajak-sajak
Chairil Anwar. Begitu juga sajak-sajak Chairil Anwar dengan sajak-sajak para
penyair sesudahnya. Intertekstual antara sajak-sajak Amir Hamzah dengan
sajak-sajak Chairil Anwar pada umumnya menunjukkan adanya hubungan
pertentangan. Sjak-sajak Chairil Anwar merupakan penentangan terhadap konvensi
estetik dan tradisi kepuisin sajak-sajak Pujangga Baru (dan sajak lama) yang
tampak jelas terwakili oleh sajak-sajak Amir Hamzah. Adapun intertekstualitas
antara sajk-sajak Chairil Anwar dengan sajak-sajak para penyair sesudahnya
merupakan hubungn persamaan.
10. Hubungan Intertekstual Roman-roman Balai Pustaka dan Pujangga Baru
1.
Hubungan Intertekstual Roman-Roman Balai Pustaka
Roman Indonesia modern yang diterbitkan pertama
kali oleh Balai Pustaka adalah ‘Azab dan Sengsara’ karya Merari Siregar pada
tahun 1921. Sesudh itu munculah
roman-roman yang lain. Roman yang memasalahkan adat, terutama adat yang
berubungan dengan perkawinan yang terkenal dengan kawin paksa, dapat dikatakan
menjadi hipogram roman-roman yang terbit sesudahnya. Hubungan antarteks ini
bukan hanya mengenai pikiran-pikiran yang dikemukakan, melainkan juga mengenai
struktur penceritaan atau alurnya. Roman Azab dan Sengsara sendiri berhipogram
roman-roman Hindia Belanda.
2.
Hubungan Intertekstual
Antara Siti Nurbaya, Layar Terkembang, dan Belenggu
Pembicaraan hubungan intertekstual antara roman
Siti Nurbaya karya Marah Rusli, Layar Terkembang karya Sutan Takdir
Alisjahbana, dan Belenggu karya Arminjn Pane adalah khusus mengenai masalah
emansipasi wanita.
a.Masalah Emansipasi
Wanita dalam Siti Nurbaya
Dapat dikatakan masalah emansipasi wanita
merupakan gema dari surat-surat Kartini yang terkenal itu yang didalamnya di
kemukakan bahwa hak dan kebebasan wanita Timur, khususnya Indonesia, masih
sangat rendah di bawah laki-laki. Wanita tidak mempunyai hak dan kebeasan dalam
menuntut ilmu, berbuat, dan bergaul. Kalau perempuan sudah dewasa sebelum
perkawinan harus dipingit, tidak dapat menolak kawin paksa menurut adat dan
tidak dapat menolak poligami yang menyengsarakannya. Seorang anak perempuan
tidak boleh mempunyai hak yang sekiranya sedikit saja merugikan kepentingan
orang laki-laki. Oleh karena itu, Kartini ingin membebaskan dan membela nasib
perempuan yang ditindas, bercita-cita membebaskan beribu-ribu jiwa perempuan.
Masalah emansipasi wanita
ini secara khusus dibicarakan dalam Siti Nurbaya pada bab XII.
b. Masalah Emansipasi
Wanita dalam Layar Terkembang
Masalah emansipasi wanita yang bersifat verbal dalam Siti
Nurbaya itu di transformasikan dalam Layar Terkembang diwujudkan dalam cerita,
bahkan didramatisir, dengan diberi tokoh Tuti sebagai seorang wanita pejuang
emansipasi wanita, tokoh organisasi wanita yang selalu memperjuangkan persamaan
hak wanita dan pria. Perjuangan wanita ini digemakan dalam pidato-pidato Tuti
didepan majelis secara bergelora dan menggebu-gebu. Begitu juga Tuti berusaha
mengamalkan persamaan hak ini dalam kehidupannya. Ia mengajak kaum wanita untuk
menyadari hak dan kewajibannya dan mengamalkan dalam kehidupannya demi hidupnya
sendiri dan demi kemajuan nusa bangsa.
Layar Terkembang roman
bertendens kemajuan bangsa, yang mencakup juga kemajuan wanitanya. Untuk itu
dibentuk tokoh-tokoh yang sesuai dengan tendens tersebut. Dalam Layar
Terkembang ada tiga tokoh penting yaitu Tuti, Maria, dan Yusuf. Ketiganya
dijalin dalam hubungan pertentangan dan persamaan. Terutama dipertentangkan
tokoh Tuti dan Maria dalam hal wataknya. Semua itu menunjukkan tendens
tersebut.
c. Masalah Emansipasi
Wanita dalam Belenggu
Pada waktu Marah Rusli
menulis Siti Nurbaya, pergerakan wanita baru mulai, tampaknya memang kedudukan wanita
masih sangat rendah. Meskipun sudah ada keadaan yang lebih baik dari masa
Kartini, berkat rintisan Kartini dan tokoh-tokoh wanita yang lain, sudah banyak
gadis-gadis yang bersekolah dan terpelajar, namun nampaknya nasib wanita
menyedihkan, adat masih kuat menghambat kemajuan wanita. Rupanya pada masa
Takdir menulis Layar Terkembang, empat belas tahun kemudian dari Siti Nurbaya
yang terbit 1922, keadaan wnita sudah lebih baik. Sudah banyak tokoh wanita
seperti Tuti yang memperjuangkang memperjuangkan emansipasi wanita untuk
mendapatkan kedudukan emansipasi wanita untuk mendapatkan kedudukan wnita yang
lebih baik lan wnita yang lebih baik lagi, untuk kemajuan wnita bagi dirinya
sendiri dan demi kemajuan nusa bangsa. Rupanya perjuangan wanigi, untuk
kemajuan wnita bagi dirinya sendiri dan demi kemajuan nusa bangsa. Rupanya
perjuangan wanita empat tahun kemudian, yaitu 1940, ketika Belenggu ditulis
Arminj Pane, sudah kelihatan hassilnya, banyailnya, banyak wanita terpelajar,
sudah tampak adanya kebebasan pergaulan diantar wanita dempak adanya kebebasan
pergaulan diantar wanita dengan wanita, antara wanita dengan pria. Rupanya
keberhasilan perjuangan wanita untuk persamaan hak dengan laki-laki sudah
tampak nyata. Setngan wanita, antara wanita dengan pria. Rupanya keberhasilan
perjuangan wanita untuk persamaan hak dengan laki-laki sudah tampak nyata.
Setidak-tidaknya di kalangan terpelajar yidak-tidaknya di kalangan terpelajar
yang mungkin banyak. Bahkan, keberhasang mungkin banyak. Bahkan, keberhasilan
perjuangan emansipasi itu sudah membawa ekses. Setidak-tidaknya tampak dalam
mata Armijn Pane, seperti terlihat dalam Belenggu.
Oleh karena itu, Belenggu
tampaknya mereaksi Layar Terkembang dalam hal emansipasi wanita meskipun tidak
seluruhnya. Dalam Belenggu tampak adanya ekses emansipasi wanita ini.
Emansipasi yang se
Oleh karena itu, Belenggu
tampaknya mereaksi Layar Terkembang dalam hal emansipasi wanita meskipun tidak
seluruhnya. Dalam Belenggu tampak adanya ekses emansipasi wanita ini.
Emansipasi yang secara menggebu-gebu diperjuangkan Takdir lewat tokoh Tuti.
Becara menggebu-gebu diperjuangkan Takdir lewat tokoh Tuti. Belenggu mereaksi
ini dengan menampilkn tokoh Tini “ yang sangat terpelajar”, yang sangat tahu
akan hak-haknya. Jadi hubungan intertekstual antara Layar Terkembang dengan
Belenggu itu adalah hubungan pertentangan. Belenggu hendak meluruskan
pengertian yang tidak benar tentang emansipasi wanita “ yang berlebih-lebihan”.
11. Estetika
Resepsi dan Teori Penerapannya
1.
Pengertian
Yang dimaksud dengan estetika resepsi atau
estetika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada
tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap karya sastra.
2.
Dasar-Dasar Teori
Estetika Resepsi
a.Cakrawala Harapan dan
Tempat Terbuka
Cakrawala harapan ini ialah harapan-harapan
seorang pembaca terhadap karya sastra. Tiap pembaca mempunyai wujud sebuah
karya sastra sebelum ia membaca sebuah karya sastra. Dalam arti, seorang
pembaca itu mempunyai konsep atau pengertian tertentu mengenai sebuah karya
sastra, baik sajak, cerpen, maupun novel. Seorang pembaca itu “mengharapkan
bahwa karya sastra yang dibaca itu sesuai dengan pengertian sastra yang
dimilikinya. Dengan demikian, pengertian mengenai sastra seorang dengan orang
lain itu mungkin berbeda, lebih-lebih pengertian sastra antara sebuah periode
dengan periode lain itu tentu akan sangat berbeda. Perbedaan itu disebut
perbedaan cakrawala harapan. Cakrawala harapan seseorang it itu ditentukan oleh
pendidikan, pengaalman, pengetahuan, daan kemmpuan dalam menanggapi karya
sastra. Begitu juga halnya karya sastra u ditentukan oleh pendidikan,
pengaalman, pengetahuan, daan kemmpuan dalam menanggapi karya sastra. Begitu
juga halnya Cakrwala harapan sebuah periode.
b. Metode Estetika
Resepsi
Metode estetika resepsi
mendasarkan diri pada teori bahwa karya sastra itu sejak terbitnya selalu
mendapat resepsi atau tanggapan para pembacanya.
Penilaian estetika
tanggapan (resepsi) dapat dikenakan pada naskah-naskah tulisan tangan sastra
lama maupun sastra modern yang tercetak.
c. Penelitian Estetik
Resepsi Naskah Tulisan Tangan Sastra Lama
Dalam karya sastra lama yang dicipta dalam kurun
waktu sebelum adaa percetakan, didapat adanya beberapa versi naskah tulisan
tangan dari sebuah karya sastra. Hal ini disebabkan oleh penurunan naskah
tulisan tangan dilakukan oleh beberapa orang yang menyalin naskah dengan
tulisan tangan. Versi-versi tersebut pada umumnya menunjukkan adanya
perbedaan-perbedaan meskipun bersumber dari satu naskah yang tertua.
Dalam meneliti salah satu versi ini biasanya
peneliti mempergunakan metode perbandingan teks, membandingkan naskah yang
tertua.Dalam meneliti salah satu versi ini biasanya peneliti mempergunakan
metode perbandingan teks, membandingkan naskah yang satu dengan yang lain.
Metode ini disebut metode Stema.
d. Penelitian Estetika
Resepsi Pada Karya Sastra Modern
Secara relatifpenelitian resepsi karya sastra
modern lebihmudah daripada penelitian resepsi karya sastra lama, dalam arti,
bahwa tanggapan-tanggapan atas karya sastra modern masih mudah didapatkan sebab
jarak antara peneliti dengan waktu terbitnya belum jauh sehingga naskahnya
masih tersimpan, dan secara relatif lebih mudah didapaatkan.
12. Tinjauan
Resepsi Sastra Beberapa Sajak Chairil Anwar
1.
Kerangka Teori dan
Metode Estetika Resepsi
a.Teori Estetika Resepsi
Ilmu sastra yang berhubungan dengan tanggapan pembaca
terhadap karya sastra disebut Estetika Resepsi.
Perbedaan pembacaan karya sastra seorang
pembaca dari suatu periode ke periode yang lain itu disebabkan oleh dua hal
yang merupakan dasar teori estetika resepsi. Yang pertama prinsip horizon
harapan dan kedua adalah tempat terbuka.
b. Metode Estetika Resepsi
2.
Resepsi Terhadap
Beberapa Sajak Chairil Anwar
Sejak terbitnya sampai sekarang, sajak-sajak
Chairil Anwar mendapat resepsi para pembacanya baik resepsi yang positif maupun
yang negatif, yang disebabkan oleh horizon harapan yang berbeda.
Sudah diketahui oleh umum, masyarakat sastra
Indonesia modern, bahwa H.B Jassinlah yang pertama kali memberikan tan
Sudah diketahui oleh umum, masyarakat sastra
Indonesia modern, bahwa H.B Jassinlah yang pertama kali memberikan tanggapn
yang positif meskipun seelumnya ada juga tanggapan, tettapi tanggapan yang
negatif berupa penolakan sajak-sajak Chairil Anwar oleh redaktur Panji Pustaka.
Dapat dikatakan bahwa berkat tanggapan H.B. Jassin sajak-sajak Chairil Anwar
dikenal oleh masyarakat (sastra) Indonesia. Bahkan juga, Chairil Anwapi
tanggapan yang negatif berupa penolakan sajak-sajak Chairil Anwar oleh redaktur
Panji Pustaka. Dapat dikatakan bahwa berkat tanggapan H.B. Jassin sajak-sajak
Chairil Anwar dikenal oleh masyarakat (sastra) Indonesia. Bahkan juga, Chairil Anwar
tidak terpisahkan dari H.B. Jassin, atau sebaliknya. Tampaknya tanggapan atau
konkretisasi H.B Jassin ini terhadap sajak-sajaak Chairil Anwar yang terpentk
Chairil Anwar yang terpenting adalah kritik (esai)-nya yang berjudul “ Chairil
Anwar Pelopor Angkatan 45” .
Dikatakan Jassin (1962: 78) bahwa sajak-sajak
Chairil memberi udara baru yang segar bagi kesusastraan Indonesia. Sajak-sajak
Chairil berjiwa revolusioner (Jassin, 1962: 79), seperti kelihatan dalam
sajaknya “ Cerita buat Dien Tamela”, dalamnya kedengaran suara menantang yang
menyiratkan perjuangan revolusi Indonesia.
Begitulah diantara tanggapan atau resepsi H.B.
Jassin yang penting terhadap sajak-sajak Chairil Anwar. Ia menaggapai kebaruan,
ekspresivitas, dan pandangan dunia dalam sajak-sajak Chairil Anwar yang
merupakan inovasi dari perpuisian Indonesia modern.
Tanggapan redaktur majalah Panji Pustaka adalah
tanggapan negatif berdasarkan kriteria penilaian pragmatik bersifat
politis-propagandis, menyatakan sajak-sajak Chiril Anwar individualistis,
kebarat-baratan, tidak sesuai dengan dat ketimuran, tidak mempergunakan
kiasan-kiasan berdasarkan kebiasaan sastra Indonesia lama.
Aoh (1952; 36) meresepsi sajak Chairil Anwar “
Aku” . Dikatakannya bahwa dia menamakan dirinya “binatang jalang”. Kiasan “
Tenaga Hidup” yang sangat besar. “ seribu tahun lgi ia mau hidup daripada
menyerah kalah kepada masyarakat yang mengiris jiwanya, menyerangmenerjang
selaras dengan kehidupan dalam dunia yang tiada tahu kehalusan budi”.
Daripada mati hidup!, begitu ulasan Aoh K.
Hadimadja, itulah Chairil Anwar, itulah vitalitasnya yang tiada ada sebelumnya.
Dikemukakan selanjutnya oleh Aoh (1952: 37) bahwa dari susut isi, maka Chairil
Anwar tidak sedikit jasanya kepada teman-temannya serta angkatan yang
mendatang. Selain itu, dikemukakan juga oleh Aoh bahwa Chairil Anwar sudah
membangkitkan semangat yang tidak boleh padamkepada bangsanya”Aku” dan
kebesaran “ Cerita buat Dien Tamela”
Dalam menolak pandangan Bakri Siregar yang
menyamakan Chairil Anwar dengan Nietzche, Hadimadja (1952:72-73) menunjukkan
bahwa Chairil Anwartidak mengingkari Tuhan ternyata dalam sajaknya “ Doa”. Bik
J.E. Tatengkeng maupun Amir Hamzah kata-katanya tidak merangkum ketinggian
Chairil Anwar. Dikatakannya bahwa dalam sajak pendek itu empat kali Chairil
menyebut “ Tuhanku”, dan ucapan itu demikian bersihnya sehingga tergambar jelas
kejernihan dada penyair, sejarah kekotorannyapun tiada. Dikemukakan Hadimadja
adakah yang lebih ikhlas dari ucapan yang dikutip berikut. Ucapan yang berupa
satu kejujuran, satu keterangan yang terus terang, betapa erat hubungan jadinya
antara penyair dengan yang dicintainya.
Setelah berdirinya LEKRA yang berpaham komunisme, ada tanggapan baru
terhadap sajak-sajak Chairil Anwar. Salah seorang tokohnya yang terkenal adalah
Klara Akustia. Ia memberi tanggapan terhadap sajak-sajak Chairil Anwar (Hadimadja, 1952: 87). Dikemukakannya bahwa
Chairil membawa corak baru dalam kesusastraan terbatas pada bentuk atau
vormnya.
Satu lagi perlu dikemukakan disisni adalah resepsi
Sutan Takdir Alisjahbana pada tahun 1977. Resepsinya itu dianggap sebagai wakil
resepsi Pujangga Baru. Ia menanggapi sajak-sajak Chairil Anwar secara estetik
maupum ekstraestetik, tetapi tanggapannya lebih cenderung pada tanggapan
pragmatis.
Dikemukakannya (Alisjahbana, 1977: 139-180) dalam
esainya yang berjudul “ Penilaian
Chairil Anwar Kembali” . Chairil membawa suasana, gaya, ritme, tempo, nafas,
kepekatan, dan kelincahan yang baru kepada sastra Indonesia (1977: 175) .
Karena penilaian Takdir Alisjahbana pragmatis yang menghendaki karya sastra
berguna bagi pembangunan bangsa, maka sajak-sajak Chairil Anwar yang pesimistis
dan berisi pemberontakan itu diumpamakan sebagai rujak asam, pedas, dan asin
yang bermanfaat untuk mengeluarkan keringat, tetapi tidak dapat dijadikan sari
kehidupan manusia.
3.
Resepsi terhadap Sajak “
Sebuah Kamar”
Sajak ini menunjukkan sesuatu yang ironis dengan
gaya yang ironis pula. Dalam keadaan sukar orang masih menambah kesukaran itu
berarti bunuh diri. Di situ digambarkan keadaan kamar si aku yang sempit: 3x4
m, sudah dihuni tuju orang . Tentu saja itu gambaran kemiskinan sebuah
keluarga. Akan tetapi, dalam sajak, berdasar konvensi puisi bahwa puisi tu
bersifat universal, sesuatu yang bersifat individuali itu dapat meluaskepada
yang umum. Di situ digambarkan kamar si aku yang sempit, ini menandakan
kemiskinan. Si ibu tertidur masih dalam menangis; ayah yang mesti bertanggung
jawab kepada keluarga, secara ironis dikemukakan hanya bisa berdoa saja. Kamar
yang sempit itu rasanya seperti penjara, meskipun ramai, tetapi sepi; tidak ada
hiburan, tidak ada apa-apa karena miskin. Keadaan itu sesungguhnya
menggambarkan keadaan masyarakat Indonnesia atau Indonesia sendiri yang padat
dengan penghuni, tetapi masih selalu bertambah lagi penduduknya. Dapat
dikatakan sajak ini merupakan peringatan untuk ber-KB! Jadi, dilihat dari
“isi”nya sajak ini penting untuk sekarang ini.
Jadi sajak “Sebuah Kamar “ ini secara estetis dan
ekstra estetis bernilai, memenuhi kriteria dulce et utile sebagai fungsi karya
sastra yang dikemukakan Horace.
13. Tanggapan
Pembaca Terhadap Belenggu
Belenggu dari waktu ke waktu selalu mendapat
tanggapan yang bebeda, bahkan juga pada waktu terbitnya. Tanggapan para pembaca
Belenggu dari seak terbitnya (1940) hingga sekarang (1990) sebagi uraian berikut.
Pada waktu naskah Belenggu
dikirimkan ke Balai Pustaka, naskah itu ditolak untuk diterbitkan oleh Balai
Pustaka (Teuw, 1955:600. Penolakan ini disebabkan oleh sifatnya yang
bertentangan dengan aturan atau syarat-syarat Balai Pustaka pada waktu itu.
Sesudah ditolak itu,
naskah Belenggu dimuat dalam majalah Pujangga Baru Th. VII. No. 10-11-12 ,
Tahun 1940, diterbitkan secara utuh. Setelah diterbitkan itu, Belenggu mendapat
bermacam-macam tanggapan dari para pembacanya, baik yang setuju, yang dapat
menerima dan memuji, maupun yang tidak setuju dan mencelanya.
Kebaruan yang amat sangat
itulah yang belumdapat dimengerti oleh para pembaca yang horizon harapannya
adalah roman-roman konvensional yang terbit sebelumnya. S. Djojo poespito (1940:
143-144) sangat mengkawatirkan buku Belenggu ini. Pertama kali, dikemukakan ia
tidak merasakan kehalusan dan keindahan bahasanya. Oleh karena itu, ia tidak
dapat memberikan tinjauan yang cukup kepada buku ini. Dikemukakan bahwa
tendenslah yang mempengaruhi buku ini. Oleh karena itu, ia merasa kurang
senang, dan timbul rasa memberontak sebab seni itu bukan semata-mata demi
tendens saja. Karena hendak mendesakkan tendens itu, watak tokoh-tokoh dan penokohannya
serta peristiwa-peristiwanya direka-reka dan dipaksakan.
Lebih tajam (pedas) lagi
adalah kritik Soesilowati (1940: 144-146). Ia menggunakan kriteria penilaian
yang mirip dengan Djojopoespito, yaitu orang tertarik membaca buku itu oleh
beberapa hal, diantaranya bahasanya yang bagus, ceritanya yang bagus karena
kejadian-kejadian dan tokoh-tokohnya dilukiskan dengan terang dan hidup atau
pembaca dapat bertambah kekuatan batinnya jika membacanya. Karena banyak
pertimbangan yang diperlukan, maka sukarlah memberi tinjauan yang
seobjektifnya, katanya. Oleh karena itu ia akan memberikan tinjauan
seluas-luasnya terhadap Belenggu. Dalam hal bahasa, ia berbeda dengan
Djojopoespito. Dikatakan bahasa yang dipergunakan kalimatnya pendek-pendek
dapat menarik pembaca meskipun mereka tidak tahu arah kemana pembaca akan
tertarik. Dikatakan bahwa pengarangnya ahli bahasa Indonesia, dapat
menyesuaikan bahasa itu dengan zaman baharu ini. Akan tetapi, dengan
keahliannya itu pengarang tidak dapat melukiskan kejadian-kejadian atau
tokoh-tokoh di dalam bukunya dengan terang.
Lebih hebat lagi adalah tanggapan Muhammad Dimyati
(1940: 146-151). Ia menuduh Belenggu itu
sebagai karya sastra belariran seni untuk seni. Menurut Dimyati yang
berorientasi pragmatik itu, Belenggu itu kurang bernilai sastra karena tanpa
tendens dan bahasanya buruk.
Penimbang yang lain adalah
Soejono Soerjotjondro. Secara singkat ia menanggapi Belenggu. Dikatkannya bahwa
dengan terbitnya buku baru (Belenggu) itu pasti ada yang setuju ada yang tidak.
Ia senang akan terbitnya buku itu meskipun belum puas. Dikemukakan bahwa apa
yang terdapat dalam buku itu merupakan kejadian-kejadian di sekitar perjalanan
pengarang, tidak dicari-cari. Jadi, tampak nahwa Soejono mengkritik secara
ekspresif bahwa karya sastra itu luapan perasaan dan pikiran pengarang, di
samping itu, secara mimetik nilai buku itu berharga karena sesuai dengan
kenyataan masyarakat di sekitar pengarng.
Seorang penanggap lagi
yang tegas-tegas berorientasi pragmatik adlah Sutan Takdir Alisjahbana, ia
menanggapi Belenggu dengan gencar. Menurut Takdir yang menarik dalam Belenggu
ialah permaina perasaan pengarang yang memberikan suatu suasana romantik kepada
buku ini. Akan tetapi, romantik itu ialah romantik yang gelap gulita, yang
pesimistis oleh batas-batasnya sudah ditetapkan oleh berbagai belenggu yang di
mana-mana hendak dikemukakan pengarang.
Seorang pembaca yang
menanggapi Belenggu dengan sikap yang moderat adalah S. Danilah. Dia
mengemukakan bahwa Belenggu itu menarik hati karena mengemukakan masalah “soal
yang hidup” , keadaan yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat Indonesia dan
karangan itu masuk akal. Oleh karena itu, Belenggu merupakan buku yang sungguh
berharga. Cara melukiskan sifat tokoh-tokoh dalam cerita itu sungguh tepat
benar hingga hidup di depan mata pembaca.
Akan tetapi, ada cacatnya
juga. Yang mengecewakan adalah sikap tokoh-tokoh utama Tono, Tini, dan Yah yang
tampak bertentangan dengan sifat mereka masing-masing.
Meskipun masih dalam kurun
waktu yang sama, tetapi karena perbedaan horizon harapan pembaca, maka pada
waktu terbitnya Belenggu itu terdapat perbedaan tanggapan terhadapnya. Yang
berikut adalah tanggapan para pembaca yang menanggapi Belenggu secara positif.
Mereka adalah M.R. Dajoh, Karim Halim, L.K Bohang, dan H.B. Jassin. S. Danilah
dapat juga dimasukkan pembaca yang menanggapi Belenggu secara positif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar